Regen

872 47 16
                                    

Aku sudah keluar dari rumah yang dulu aku anggap istana, dan sekarang sudah bagaikan rumah hantu yang begitu angker dimana banya hantu yang berkeliaran disana. Langit yang tadi mendung kini sudah menurunkan hujan rintik-rintik yang lama-lama menjadi hujan deras disertai dengan petir yang berkilat disekelilingku dan gemuruh yang menggelegar memekakkan telinga. Ini adalah hujan pertama yang aku temui di Austria, yang dulu aku bayangkan akan jadi pengalaman yang menyenangkan malah sebaliknya.

Langit seakan ikut menangis melihatku bersedih, gemuruh seakan marah atas perlakuan Mike padaku, petir seakan memberikan seberkas cahaya agar aku bisa memandang sekitar dan bisa melihat dunia ini, bahwa lelaki ada banyak bukan hanya Mike. Aku menangis dibawah hujan yang begitu deras, aku membiarkan tubuhku basah kuyup diguyur air hujan. Mungkin dengan diam di bawah hujan, aku bisa menyembunyikan air mata yang mengalir deras dari kedua mataku.

Yani dan Jihan berteduh di halte, memandangku yang masih larut dalam kesedihan. Mereka sudah tau sikapku yang tidak suka ditentang, sehingga mereka membiarkan saja aku hujan-hujanan. Orang-orang yang juga sedang berteduh sekaligus menunggu bus di halte melihatku aneh, mungkin mereka akan menganggap aku hanya orang yang tidak pernah melihat dan merasakan hujan. Menganggapku anak kecil atau lebih lagi menganggapku sebagai orang tak waras.

"Lo gila ya? Ngapain hujan-hujanan, ntar lo sakit gimana? Gua tau lo lagi patah hati tapi gak gini juga kali." kata seseorang yang kini memayungiku dengan payung berwarna hitam, dia tampak begitu khawatir melihat keadaanku. Ya, dia Adrian.

"Lo kenapa gak bilang Mike udah punya tunangan?" aku mendorong kedua pundaknya sampai dia mundur beberapa langkah.

Adrian kembali melangkahkan kakinya kedepan dan memayungiku lagi, walau itu percuma saja karena badanku sudah benar-benar basah. "Gua kan udah berkali-kali bilang ke lo, jauhin Mike lo nya aja yang gak nurut."

"Itu karena lo hanya nyuruh gua jauhin, gak bilang alasannya kalau Mike itu udah punya tunangan. Lo jahat," aku kembali terisak, Adrian sepertinya mengetahui kalau aku sedang menangis hingga dia mengusap area di bawah mataku.

"Lo jangan nangis gitu dong, gua jadi serba salah nih jadinya." ujar Adrian.

Entah mengapa aku langsung mendekap tubuh Adrian, dia sedikit merasa terkejut. Orang-orang yang masih di halte termasuk Yani dan Jihan pasti melihat adegan yang layaknya drakor ini.

"Biarin gua meluk lo, biasanya kalo di rumah gua lagi nangis gua selalu peluk boneka atau mama gua, sekarang hanya ada lo di deket gua jadi dengan terpaksa gua peluk lo," aku berkata sambil menangis. Adrian mengerti yang aku ucapkan, dia balas memelukku dengan satu tangannya sementara tangan yang satunya lagi memegang payung.

"Maafin kelakuan saudara gua," Adrian berkata lirih sembari mengelus rambutku yang basah.

Tubuhku mulai menghangat akibat pelukan Adrian namun, air mata yang mengalir masih belum juga reda sama seperti hujan yang masih terus turun dari langit. Aku melirik ke halte, halte sudah sepi hanya ada Jihan dan Yani yang masih setia menungguku disana. Mereka tampak kedinginan terutama Jihan, dia tidak memakai pakaian yang cukup tebal.

Senyum kecil tersungging dari bibirku, melihat betapa setianya mereka sebagai sahabatku. Aku melepas pelukanku pada tubuh Adrian dan hendak berjalan ke halte yang jaraknya hanya 5 meter dari tempatku berdiri, tangan kanan Adrian memegang pergelangan tanganku seakan dia tidak mau aku pergi darinya.

"Lo mau kemana?" Adrian bertanya, masih belum melepas genggaman tangannya.

"Gua mau nyari temen gua, lepasin tangan gua." aku berusaha melepas genggaman tangan Adrian namun, genggaman itu cukup kuat atau memang tenagaku yang terlalu lemah.

Regen (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang