Regen II

796 28 6
                                    

Malam ini kami berada di rumah sakit menemani Yani yang sedang menjalani perawatan instensif, awalnya Yani menolak keras untuk dibawa ke rumah sakit namun, kondisinya makin parah di sore hari. Jadinya mau tidak mau Yani harus kesini, dokter mengatakan kalau kondisi Yani cukup parah. Dokter juga mengatakan sudah beberapa kali dia telat makan, aku merasa sangat bodoh mengapa aku bisa tidak tahu kalau Yani punya riwayat penyakit maag. Kalau aku tahu pastinya aku akan memberikan perhatian lebih padanya agar dia tidak sampai telat makan.

Adrian sedang keluar untuk membeli makanan, Jihan sedang ke toilet, aku sendiri menjaga Yani hingga dia siuman. Aku memandang wajah Yani, wajah yang biasanya berseri-seri kini terlihat sangat lesu tak berdaya, bibir yang biasanya menyunggingkan senyuman manis kini terkatup pucat. Aku memegang tangan Yani, tangannya terasa sangat dingin kemudian merapikan beberapa anak rambut yang terdapat di wajahnya.

"Cepet sembuh ya Yani, gua gak tega liat lo kayak gini." bisikku di samping telinga Yani.

"Temen aja yang sakit sampai segitu perhatiannya, kira-kira kalau gua yang sakit gimana ya?" ucap Adrian, yang tiba-tiba muncul seperti hantu.

"Eh lo Ad, gak baik ngomong kayak gitu. Emang lo pengen sakit?" kataku ketus.

"Ya, kalau sakit bisa ngundang perhatian lo ke gua, gua mau kok sakit."

Aku memukul pelan lengan Adrian yang sedang menaruh makanan di atas meja, dia pura-pura sakit padahalnya tidak.

"Mimpi lo."

"Semuanya kan berawal dari mimpi."

Jihan yang baru datang dari toilet sengaja berdeham keras, aku peka akan maksud Jihan. Dia meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian mengikat rambutnya menjadi model pony tail, suasana keheningan terjadi di detik-detik berikutnya. Semua enggan untuk memulai percakapan mungkin karena semuanya sudah merasa ngantuk dan kelelahan.

"Eh iya jadi lupa, nih makanan buat kalian tadi gua beli di kantin rumah sakit. Semoga kalian suka." Adrian bersuara memecah keheningan.

Aku mengambil nasi bungkus yang diberikan Adrian begitu pula dengan Jihan, kami segera memakannya dengan lahap. Adrian diam-diam memerhatikanku sampai-sampai aku tersedak, Jihan segera menyodorkan sebotol air mineral padaku. Adrian hanya tertawa geli melihat tingkahku yang sebegitu canggungnya.

"Pelan-pelan Yan..." ucap Jihan lembut.

"Iya pelan-pelan aja kalau makan, toh juga bakalan kenyang juga." sambung Adrian.

Aku hanya memutar bola mata malas menanggapinya, lagian aku tidak akan tersedak kalau dia tidak memerhatikanku seperti itu.

***

Pukul 06.00 AM

"Hey bangun..." ucap Yani sambil menggoyangkan tanganku dan juga tangan Jihan.

Dari semalam kami tertidur di samping Yani, tanpa tersadar kini pagi sudah menyapa. Aku menguap keras, kulihat Jihan masih tertidur pulas walaupun tidak tidur di kasur, Yani tersenyum melihatku wajahnya kini sudah tak sepucat kemarin. Semoga Yani cepat sembuh ya.

"Lo dari kemarin tidur disini? Kenapa gak ke hotel?" tanyanya bertepatan dengan bangunnya Jihan.

"Iya Yan, masa gua ke hotel terus siapa yang jagain lo disini?"

Jihan mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum ikut larut dalam percakapanku dan Yani, Yani memegang tanganku dan juga tangan Jihan, dia lagi-lagi menyunggingkan senyuman termanisnya.

"Makasih untuk semua yang udah kalian berikan ke gua dan maaf kalau gua sering nyakitin perasaan kalian entah itu gua sengaja atau gak."

"Yani apaan sih? Ini bukan waktunya untuk sedih-sedihan, kamu lupa kita ke Bandung buat liburan?" sergah Jihan.

Regen (Telah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang