Chapter 9 - Tree House

182 15 7
                                    

Hi guys! I would like to thank all of you who have read this story! Sorry for the late update because I'm quite busy with uni-stuffs these days even at holiday karena aku ada proyek di luar kampus :(

Selain itu, aku juga lagi nulis dua cerita. Pertama cerita ini, yang udah aku publish. Lalu, aku bikin juga prequelnya berjudul 'Breath' tentang Veronica Anderson, which is a seperate story (terpisah dari Anderson). Jadi enggak baca Anderson juga masih nyambung--Dan bukan lanjutan, jadi enggak baca juga gapapa.

Tadinya aku rencana nulis 'Breath' setelah cerita ini selesai. Tetapi karena ideas numpuk dan sayang enggak ditulis, akhirnya aku coba seriusin dulu itu, tanpa nelantarin ini karena di draft aku ada sampai part 17.

Tapiiii, sebagai akibatnya, aku sengaja delay cerita ini two weeks one chapter supaya enggak hiatus panjang (hectic uni-life contributes to the delay too hiks). Jadwalnya sama hari Jumat.

Kalau aku lagi nulis cepet di sini, aku bakal update cepet juga jadi enggak selalu two weeks one part, bisa one part perweek juga.

Ini tujuannya supaya aku bisa namatin ini dan 'Breath' barengan juga. Jadi pas cerita ini end, 'Breath' bisa dipublish tanpa delay lama.

Thanks for your understanding! Heheheee...

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Chapter 9 - Tree House

"Loh? Vio mau kemana?" tanya Vera saat melihat Vio keluar kamar sambil menenteng duffel bag.

Violetta berhenti sejenak. Oh yaampun. Dia belum memberitahu orang tuanya kalau hari ini dia akan berangkat ke Bandung untuk makrab gabungan band dan paduan suara.

"Eh iya. Lupa kasih tau, Ma. Aku ke Bandung hari ini. Pulangnya besok sore. Ada acara padus," jawab Violetta.

"Take care, ya," balas Vera. Vio mengernyitkan dahi heran. Biasanya, mamanya akan bawel mengomel dalam situasi seperti ini. "Oh ya, papa sama mama besok malem mau dinner berdua. Jangan sampai lupa bawa kunci rumah, Vi."

Oke. Sekarang dia tahu penyebabnya. Mamanya sedang berbunga-bunga karena diajak dinner. Dasar.

Papanya belum bangun sekarang, jadi lebih baik dia segera bergegas sebelum papanya bangun. Kalau tidak, nanti malah papanya yang akan bawel mengoceh. Biar mamanya saja yang mengurus nanti. Kan lagi berbunga-bunga. Hehehe.

Saat Vio keluar, Adam sudah bertengger dengan motornya. Adam tersenyum padanya seperti biasa, lalu melemparkan helm padanya. Entah mengapa, ini sudah jadi rutinitas tiap dijemput.

"Vi," ujar Adam tiba-tiba saat mereka sedang di lampu merah.

"Kenapa, Dam?" tanya Vio.

Adam terdiam sebentar, tangannya bergerak menggaruk lehernya yang tak gatal.

"Ehm... Itu..." Vio menatapnya penasaran meski Adam tak bisa melihatnya. "Kita kan udah pacaran, tangan lo--"

Sebelum Adam menyelesaikan kata-katanya, Vio melingkarkan tangannya di perut Adam.

"Iya. Peka kok," potong Vio.

Adam terkekeh. Berhubung lampu sudah berubah hijau, mereka tak melanjutkan percakapan mereka. Vio tak memulai percakapan sama sekali karena dia tahu dalam situasi seperti ini mereka berdua akan jadi seperti orang budek. Kalaupun Adam menjawab dengan 'iya', belum tentu dia mendengar. Ini murni berdasarkan pengalaman Vio waktu naik ojek online.

AndersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang