# 10 Malu

27 2 0
                                    

Suasana kelas XI IPA 1 terasa tenang dan sunyi, hanya ada suara Bu Yayuk yang tengah serius menjelaskan materi Kimia serta sesekali terdengar gesekan pulpen dan buku yang beradu karna sebagian siswa tengah serius mencatat materi.

Kelas yang sebagian besar di tempati oleh anak-anak pintar itu jarang sekali terjadi keributan, mereka saling berlomba untuk menjadi yang terbaik.

Berbeda dengan kelas XI IPA 3, kelas yang di tempati Masya dan kedua temannya itu sedang di ajar Pak Sandro guru Matematika mereka.

Meyra tampak serius memperhatikan penjelasan Pak Sandro dan mencat apa yang Pak Sandro tulis di papan tulis, sementara Masya sudah hampir terpejam di tempatnya, seperti ada beban berat yang menggelayuti matanya.

Masya menoleh ke arah teman-temannya, kebanyakan dari mereka tidak ada yang serius mendengarkan, ada yang sedang corat-coret gak jelas, main Hp di kolong meja, bahkan sudah ada yang melalang buana ke alam mimpi. 

"Paham lo?" Masya menoleh ke arah Meyra dengan mata setengah terpejam, kepalanya ia sangga dengan tangan kanannya

"Enggak"

"Lo dengerin pak Sandro dari tadi tapi lo gak paham juga?"

Meyra tidak menjawab ia hanya memamerkan cengirannya dan kembali serius untuk mencatat

"Itu catetan?" tunjuk Masya dengan Matanya

"Ya supaya ada catetan aja biar tau kalo materi ini udah di bahas"

Masya memutar bola matanya jengah, Meyra memang rajin dia tidak pernah absen mengerjakan tugas meski tugas yang ia kerjakan jarang sekali mendapat nilai bagus, paling mentok cuma nilai tujuh puluh.

Meyra juga selalu mendengarkan dan mencatat apa yang guru jelaskan meskipun ia jarang faham dan tak pernah membuka catatannya lagi, hal itu ia lakukan agar ia tau bahwa materi itu telah ia pelajari.

"Bagaimana anak-anak, faham?" tanya pak Sandro mengakhiri penjelasannya. Ia berjalan pelan menuju meja guru, matanya tak luput memperhatiakan siwa siswinya.

"Paham pak"

"Ada yang mau di tanyakan?"

"Tidak pak" semua murid kompak menjawab pertanyaan pak Sandro, meski Masya berani taruhan dari dua puluh lima siswa di kelasnya hanya ada beberapa siswa yang memang benar-benar faham dengan materi barusan. Mereka semua menjawab "faham" hanya agar pak Sandro segera menyudahi pembelajaran dan mereka bisa segera istirahat.

Pak Sandro  mengambil spidol di atas meja kemudian menuliskan sederet angka di papan tulis. Ia diam sebentar menimang-nimang siapakah gerangan yang akan mendapatkan 'kehormatan' untuk menyelesaikan soal di depan.

"Masya tolong kamu kerjakan soal di depan"

Masya yang merasa namanya di panggil langsung menegakkan tubuhnya, rasa kantuk yang sedari tadi mengelayuti entah hilang kemana, padahal ia sudah merapalkan segala do'a agar namanya tak di panggil, namun sayang keberuntungan sedang tak berpihak padanya.

"Saya pak?" tunjuk Masya pada dirinya

"Iya kamu, siapa lagi yang punya nama Masya Kalina Kahlil di kelas ini kecuali kamu"

Masya sudah kalang kabut, ia sama sekali tak mengerti dengan materi ini, sudah tau sendiri kan Masya lemah dalam hal hitung menghitung.

"Masya cepat selesaikan soal di depan"

Masya menoleh ke arah teman-temannya mencoba mencari bantuan, tapi mereka hanya  mengendikan bahu dan menatapnya iba.

"Mey gue pinjem catetan lo ya" putus Masya, walau bagaimanapun ia tetap harus menyelesaikan soal di depan. Ia hanya berharap semoga bel istirahat segera berbunyi agar ia tak perlu menyelesaikan soal di depan.

Sudah lima menit Masya berdiri di depan papan memandangi soal yang harus ia selesaikan dan sudah berulangkali juga ia mencoba menjawab namun berakhir ia hapus kembali, sampai suara ketukan pintu mengintrupsi.

"Tok tok tok permisi, maaf pak menganggu waktunya sebentar saya ingin memanggil Fania"

"Eh Agib iya silahkan" Pak Sandro mempersilahkan Fania untuk menemui Agib

"Oh iya gib, sebelum itu bapak minta tolong kamu bantu Masya menyelesaikan soal di papan. Bisa kan?"

Agib melihat soal di papan kemudian pada Masya yang masih bergeming menghadap papan, ia sama sekali tak berani menoleh ke arah Agib

Agib tersenyum "Bisa pak" Agib berjalan menghampiri Masya,  berdiri di sampingnya dan mengambil spidol di tangannya. Agib mengerjakan soal itu dengan mudah, sesekaki ia juga menjelaskan kepada Masya.

Tak ada rasa canggung sama sekali meski seluruh siswa di kelas Masya memperhatikannya, Agib menjelaskan dengan cara sederhana dan mudah di fahami. Namun tanpa Agib ketahui di sampingnya ada jantung yang berdegup seperti meletup-letup dan juga mata yang sedari tadi menatapnya penuh damba

***

"Gila Sya muka lo aneh banget sumpah" seru Rara

"He'em" imbuh Meyra setuju

Mereka bertiga sedang duduk di kantin sekolah untuk mengisi perut yang sejak tadi meronta minta di isi.

Rara dan Meyra sudah menikmati siomay yang mereka pesan, sedangkan Masya hanya membeli susu coklat kemasan yang sedotannya sudah tak berbentuk karena ia gigit. Masya tak berniat untuk memesan makan karena moodnya sudah hilang sejak Agib keluar dari kelasnya tadi.

"Aduh, malu banget gue. Gue musti gimana dong?" Masya sudah menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannnya kakinya juga tak berhenti menghentak-hentak di bawah meja.

"Ya gak gimana-gimana, lagian udah kejadian kan?" sahut Rara cuek

"Ya gue ngerasa makin ketinggian aja ngarep bisa sama Agib, keliatan banget bedanya"

Masya sadar jika dirinya tak pantas menginginkan Agib yang jauh lebih segalanya tapi Masya juga tidak bisa mengendalikan kehendak hatinya karena Masya rasa rasa kagum yang dulu tertuju pada Agib entah sejak kapan berubah menjadi rasa suka.

"Udah Sya gak usah dipikirin

***

Agib segera kembali ke kelasnya setelah menyelesaikan urusannya dengan Fania, selain karena bel istirahat telah berbunyi ia juga berniat pergi ke Lab IPA. Ada hal yang harus ia kerjakan di sana.

"Gib, kantin yok" Ajak Bagus yang sudah berdiri siap untuk ke kantin.

"Lo aja deh, gue mau ke Lab"

"Ya elah, lo jangan kebanyakan pacaran sama buku ato mikroskop, sekali-kali pacaran sama cewek kek"

Agib tak menanggapi ia hanya tersenyum mendengar ledekan Bagus, karena bukan sekali dua kali Bagus meledeknya masalah cewek.

"Ya udah gue ke kantin dulu" putus Bagus akhirnya. Ia sudah akan berjalan ke luar kelas, namun belum sampai depan pintu Agib sudah memanggilnya

"Eh gus, gue boleh nitip?"

"Apaan?cepet"

"Beliin susu ultra rasa coklat satu" Bagus mengernyitkan dahinya mendengar titipan Agib, ia tau sekali Agib tidak pernah suka susu coklat dan tidak menyukai semua hal berbau coklat.

"Bukannya lo gak suka susu coklat?"

"Udah beliin buruan, nih uangnya" Agib menyerahkan uang sepuluh ribuan

"Kembaliannya gak buat gue nih?" tanya Bagus sambil menaik turunkan alisnya.

"Enggak ntar kembaliannya lo kasi gue"

Bagus mendengus, dan segera berlalu ke kantin meski sambil misuh-misuh tak jelas, sementara Agib sudah beranjak untuk pergi ke Lab IPA

***

A.N

Cerita ini lama-lama makin gak jelas aja....ya udahlah di nikmati aja

Happy reading...sorry for typo

#ROSE

My Love (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang