16

18 4 0
                                    

Dean duduk di sudut sofa, terjebak dalam pikirannya yang semakin kelam. Sinar matahari pagi mulai menerobos masuk melalui celah tirai, menciptakan pola bayangan di lantai kayu. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya berputar tanpa henti, menariknya kembali ke masa lalu yang selama ini ia coba lupakan. Di tengah keheningan, bayangan masa kecilnya perlahan mulai terurai, menghadirkan kembali kenangan pahit yang selalu ia hindari.

Dean ingat betapa bahagianya ia dulu. Ia adalah anak laki-laki yang beruntung, dikelilingi oleh kasih sayang ibu dan kebanggaan seorang ayah. Di matanya, Danovan Orthie Dallas, ayahnya adalah sosok sempurna: seorang dokter yang dikagumi, pemilik rumah sakit besar yang selalu sibuk menyelamatkan nyawa. Dean kecil sering duduk di ruang kerja ayahnya, memperhatikan ayahnya yang sibuk membaca jurnal medis atau merencanakan perawatan untuk pasien-pasiennya. Setiap kali Ayahnya pulang, meski terlambat, Dean akan menyambutnya dengan segelas teh hangat, berharap bisa mendengar cerita-cerita hebat tentang dunia kedokteran.

"Suatu hari nanti, aku akan menjadi seperti ayah," Dean pernah berbisik pada dirinya sendiri. Impiannya sederhana: mengikuti jejak ayahnya, menjadi dokter hebat, dan membanggakan keluarga kecil mereka. Di mata Dean, keluarganya adalah gambaran kesempurnaan—ibu yang lembut dan penuh kasih, ayah yang tegas tapi peduli. Namun, semua itu hancur dalam sekejap ketika kebenaran yang tersembunyi mulai terungkap.

Segalanya berubah saat ibunya mengandung anak kedua. Dean masih ingat betapa bahagianya mereka saat mendengar berita itu. Namun, kebahagiaan itu mulai pudar ketika Dean secara tidak sengaja mendengar bisikan-bisikan di rumah sakit tempat ayahnya bekerja. Para perawat bergunjing di sudut, membicarakan sesuatu yang terdengar tidak masuk akal. "Kau tahu, kemarin aku melihat Dr. Danovan dan Dr. Isabell, dokter bedah itu. Berciuman...kyaa! Itu benar-benar sangat romantis. Padahal mereka suami istri tapi kenapa selalu bersikap seolah-olah tidak saling kenal yaa"

Dean merasa tubuhnya menegang mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mencari kebenaran, meski ia tahu, mungkin itu adalah hal yang seharusnya tidak pernah ia ketahui. Ia mengikuti jejak ayahnya diam-diam, hingga menemukan sebuah rumah mewah di dekat kota—rumah yang jauh lebih besar dan megah dibandingkan rumah yang ia tinggali bersama ibunya.

Dean berdiri di depan gerbang besar itu, hatinya berdebar hebat. Dalam diam, ia menatap bangunan megah itu, bertanya-tanya seperti apa kehidupan yang tersembunyi di dalamnya. Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapannya. Dean terkejut saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu: Isac, kakak tingkat yang selama ini ia kagumi. Ada rasa bingung dan kekecewaan yang meluap ketika Isac menatapnya dengan tatapan dingin.

"Kenapa kau di sini?" tanya Dean dengan nada gemetar. Isac, yang selalu terlihat tenang dan berwibawa di sekolah, kini menatapnya seolah ia adalah musuh. "Ini rumahku. Kenapa kau di sini?"

Pertanyaan itu menghantam Dean seperti tamparan keras. Inikah rumah istri ayahnya? Dan Isac... adalah saudara tirinya? Dean tidak mampu menahan perasaannya. Ia berbalik dan berlari sejauh mungkin, mencoba melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan itu. Sesampai di rumah, Dean memberanikan diri menceritakan semuanya kepada ibunya. Tapi bukannya percaya, ibunya justru hancur mendengar kabar itu. Dean bisa melihat kepanikan dan ketidakpercayaan di mata ibunya.

Dengan suara bergetar, ibunya menghadapi ayahnya, meminta jawaban atas semua yang telah ia dengar. Ayahnya tidak menyangkal. Ia berdiri dengan dingin, mengakui bahwa Isabell adalah istrinya yang lain. "Aku mencintai kalian berdua," katanya tanpa rasa bersalah, seolah itu adalah hal yang bisa dimengerti dan diterima begitu saja.

Sejak saat itu, dunia Dean terbalik. Ia tidak lagi melihat ayahnya sebagai pahlawan. Ayahnya hanyalah pria yang menipu mereka selama ini, yang menghancurkan keluarga kecil mereka demi ego dan hasrat pribadinya. Dean yang dulu bermimpi menjadi dokter seperti ayahnya, kini muak dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia medis. Ia memilih jalannya sendiri—dunia teknologi dan game yang dianggap ayahnya tidak lebih dari sekadar omong kosong. Dalam pemberontakannya, Dean berharap bisa menemukan kebebasan dan identitas baru di luar bayang-bayang ayahnya.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang