14

16 6 0
                                    

Daisy menyelesaikan makanannya dengan tenang, meski pikirannya masih penuh dengan berbagai pertanyaan tentang pria di hadapannya. Setelah meletakkan piring dan gelas di dapur, dia melihat ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, dan suasana semakin hening.

Daisy berjalan mendekati Dean yang kini terdiam di lantai, matanya terpejam seolah tertidur. Raut wajah pria itu terlihat lebih tenang, meskipun masih ada bayangan kelelahan yang tergambar jelas. Daisy berhenti sejenak, ragu untuk mengganggunya. Dia menatap jas mahal yang dikenakan Dean, kontras dengan kondisi mereka saat ini—di dalam apartemen kecil dengan suasana yang sederhana.

Pelan-pelan, Daisy berlutut di sampingnya, jari-jarinya ragu-ragu menyentuh lengan jas Dean. "Hei..." panggilnya pelan, hampir seperti bisikan. Ia menunggu respons, namun Dean tidak bergerak sedikit pun. "Dean? Namanya Dean, kan?" Ia bingung tapi tetap memanggilnya lagi, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah menyebut nama.

Ada perasaan aneh yang mengganjal di hatinya, antara tidak ingin mengganggu pria itu yang tampak lelah dan harus membangunkannya karena sudah terlalu larut. Jari-jarinya perlahan menekan bahu Dean, namun sentuhannya tetap lembut, seperti khawatir akan menghancurkan sesuatu yang rapuh.

"Dean, bangunlah," ucap Daisy lagi, kali ini dengan sedikit lebih tegas, meski nadanya tetap lembut.

Dean bergeming sebentar, sebelum akhirnya membuka matanya perlahan. Dia tampak bingung sesaat, seolah baru saja terbangun dari mimpi yang berat. Dean menatap Daisy yang masih berlutut di depannya, dan sejenak mereka hanya saling menatap, kebingungan bercampur rasa canggung di antara mereka.

"Aku tertidur, ya?" Dean bergumam, suaranya serak. Dia meraih keningnya seolah mencoba mengumpulkan kesadarannya.

"Iya, kau seharusnya pulang," ujar Daisy, mencoba terdengar tegas meski nada suaranya tetap lembut. "Aku tidak tahu apa yang kau inginkan atau yang ingin kau bicarakan. Ini sudah larut dan kau juga sedang sakit. Aku tidak bermaksud mengusirmu tapi kau tidak bisa terus di sini."

Dean menatap Daisy sejenak, sorot matanya terlihat lebih tenang namun tetap samar menunjukkan rasa lelah yang belum sepenuhnya hilang. Ia mendengarkan kata-kata Daisy, seolah mempertimbangkan setiap ucapannya. Meski begitu, ada sedikit keraguan dalam sikapnya, seolah masih enggan meninggalkan tempat itu.

"Aku paham," jawab Dean, suaranya pelan namun terdengar tulus. "Aku tahu ini semua aneh dan kau tidak perlu repot karena aku. Tapi... ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."

Daisy menatap Dean dengan raut wajah yang bingung. Ada rasa tak nyaman yang menyeruak, tapi rasa ingin tahu membuatnya tetap mendengarkan. Dean yang biasanya terlihat tenang dan dingin, kini tampak sedikit ragu, seolah-olah ada beban yang harus ia keluarkan, meski itu terasa sulit.

Dean menarik napas dalam, memandang Daisy dengan sorot mata yang lebih lembut dari biasanya. "Namamu Daisy, kan?" tanyanya pelan, nadanya lebih seperti mengonfirmasi daripada bertanya. Daisy mengangguk perlahan, masih merasa aneh dengan arah pembicaraan ini.

Dean mengusap wajahnya, sejenak tampak berpikir sebelum melanjutkan. "Pertanyaan itu mungkin terdengar bodoh, tapi aku ingin memastikan," katanya sambil menatap Daisy lagi, kali ini lebih serius. "Aku tidak tahu tentangmu, dan mungkin ini bukan tempatku untuk bertanya, tapi... ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku merasa kau... bukan orang asing."

Daisy mengerutkan kening, mencoba mencerna maksud di balik kata-kata Dean.

"Kita baru bertemu hari ini... bagaimana bisa kau berpikir begitu?" ucap Daisy, suaranya terdengar ragu namun penuh rasa penasaran. Pandangannya tertuju pada Dean, mencoba menangkap kejujuran dalam kata-kata pria itu. Ada sesuatu yang tidak masuk akal dari perkataan Dean, namun cara Dean berbicara membuatnya sulit untuk diabaikan.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang