25

9 2 0
                                    


"Bagaimana?" tanya Dean, suaranya datar dan dingin, memecah keheningan ruangan. Pandangannya terpaku keluar jendela besar yang memperlihatkan langit gelap dengan rintik hujan berderai. Hembusan angin malam yang membelai kaca menambah kesan suram dalam suasana.

Ian, yang berdiri di belakangnya, menarik napas sejenak sebelum menjawab. "Dari laporan, benar bahwa yang datang bersama Tuan Robel adalah Leon Russell. Dia putra ketiga keluarga Russell. Namun, dalam pertemuan malam ini, belum dapat dipastikan mengapa putranya yang ketiga yang hadir, bukan salah satu dari saudara-saudaranya yang berada di bisnis ini."

Dean tak bergerak, namun ada kilatan dingin dalam matanya. Rintik hujan semakin deras menghantam jendela, sementara suasana ruangan menegang dengan setiap kata yang keluar dari mulut Ian.

"dari rekaman CCTV," lanjut Ian dengan nada lebih tajam, "putra ketiga, Leon russell terus memperhatikan Nona Daisy setelah Direktur setelah menyampaikan pidato. Tidak lama setelah itu, dia terlihat mengikuti Nona keluar dan pergi ke taman. Kami telah memeriksa seluruh rekaman CCTV, dan sayangnya, tidak ada kamera yang mengarah ke lokasi Nona Daisy berada."

Dean perlahan berbalik, tatapannya menembus Ian, namun tetap tenang. Hanya ada keheningan yang menggantung, sebelum Ian melanjutkan dengan penuh keyakinan, "Kemungkinan besar, Leon Russell adalah pelakunya, Pak. Semua bukti sejauh ini mengarah kepadanya."

Dean menatap Ian sejenak, lalu kembali memandang keluar jendela. Ada kesunyian yang tidak terbantahkan. "Lakukan sesuai rencana."

Perintah itu terdengar sederhana, namun penuh beban. Ian mengangguk tanpa ragu, berbalik dan meninggalkan ruangan.

***

Sepi.

Gelap.

Daisy perlahan membuka matanya. Kepalanya berdenyut, dan rasa pusing menyerang seketika. Tubuhnya terasa nyeri di setiap inci, seolah baru saja jatuh dari ketinggian. Dengan susah payah, ia mencoba bangkit dari tempat tidur yang tidak dikenalnya.

"Tempat ini... " pikirnya.

"Ini bukan taman..."

Kamar itu gelap, hanya sedikit cahaya remang dari luar yang menembus tirai. Hatinya berdebar kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. 'Apakah ini kamar Leon?' Dia menelan ludah, memaksakan diri untuk tetap tenang, tetapi kegelisahannya semakin memuncak.

Dengan gemetar, Daisy mencoba turun dari tempat tidur, namun lututnya yang terluka membuatnya terjatuh. Rasa nyeri menyebar, membuatnya meringis. Meski begitu, ia tetap berusaha bangkit. Langkahnya lemah dan tertatih, tetapi ia memaksa dirinya menuju pintu.

Ketika tangannya mencapai kenop pintu, hatinya berdegup kencang. 'Apa Leon ada di luar?' Pikirannya dipenuhi ketakutan. Dengan perlahan dan penuh waspada, Daisy memutar kenop pintu dan membukanya sedikit demi sedikit.

Koridor di luar sama gelapnya dengan kamar. Suasana sunyi dan mencekam membuatnya semakin takut, namun ia tahu tidak bisa tinggal di sana. Dengan langkah pelan, ia mulai menuruni anak tangga. Tubuhnya lemah, dan ia tidak punya cukup kekuatan untuk berlari.

Setiap langkah terasa berat, dan Daisy terus meraba-raba di kegelapan, mencari jalan keluar. Hatinya berdebar-debar, takut kalau-kalau Leon tiba-tiba muncul dari bayang-bayang. Tanpa sadar, tangannya menyentuh sebuah vas di meja samping. Vas itu jatuh dan pecah dengan suara nyaring, memecahkan keheningan yang sudah mencekam. Jantung Daisy berdegup kencang, panik menyergapnya, dan dia mulai bergerak cepat, berharap bisa melarikan diri.

Namun, tiba-tiba sesuatu melingkari perutnya. Tubuhnya terangkat. "Akh!? Le-lepas..." suaranya bergetar penuh ketakutan. Itu tangan, tangan kuat yang mengunci tubuhnya. Daisy berusaha sekuat tenaga melepaskan diri, tangannya mencakar tangan besar yang memeluknya erat. "Tolong..." suaranya pecah, memohon dalam keputusasaan.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang