19

19 2 0
                                    

"Kau aneh, Daisy."

Daisy merasa kesal. "Aneh? Yang aneh itu malah bapak yang seenaknya datang ke rumah orang," batinnya bergejolak, mencoba tetap tenang meski rasa takut dan gelisah tak kunjung hilang. Dengan sopan, ia berusaha menjaga nada bicaranya, "Bapak ingin bicara apa?"

Dean hanya menatapnya sebentar, lalu menjawab singkat, "Kau aneh."

Daisy tertegun, bingung dengan maksud ucapan atasannya tersebut. "Haa... Pak, saya sedang serius..." Daisy mencoba menegaskan, meski ada ketidakpastian dalam nada suaranya.

"Saya juga serius. Kamu jadi aneh," balas Dean, masih dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Aneh bagaimana? Malah yang aneh itu—" Daisy tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Ia merasakan ada tekanan batin yang menggelayuti, namun ia berusaha menahan perasaan itu dan tetap bersikap sopan. Di depan atasannya ini, ia tak mungkin bersikap kurang ajar lagi.

Dean tersenyum kecil. "Itu? Itu apa?"

"Tidak ada," jawabnya dengan nada ketus, meski ia sendiri tidak yakin mengapa ia merespons seperti itu.

Dean menghela napas, lalu berkata dengan nada yang terdengar tenang namun mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan, "Caramu bicara... membuatku yakin bahwa kau sudah tau siapa aku."

"Jika kita tidak bertemu, kamu pasti masih bersikap seperti dulu," lanjut Dean dengan nada datar, namun ada sesuatu yang tersirat di dalamnya. Seperti ada yang hilang.

Daisy merasa hatinya bergejolak. "Maaf... Pak, saya tidak ada maksud bertindak seperti itu..." ucapnya lirih, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

"Sudahlah, bersikap biasa saja," ucap Dean tiba-tiba. Suaranya tegas namun tenang, seolah ingin segera mengakhiri percakapan yang semakin membingungkan.

"Ha! Ini semua karena Bapak," sahut Daisy dengan nada kesal, matanya menatap tajam. "Jika Bapak tidak bersikap kekanak-kanakan dengan bilang 'main direktur-direkturan', mungkin saya tidak bertindak seperti itu..." lanjut Daisy, suaranya bergetar di antara kemarahan dan usahanya menenangkan diri.

Dean menahan tawa, bibirnya membentuk senyum kecil. "Pff, jadi kamu percaya?" tanyanya, seolah menguji reaksi Daisy lebih jauh.

"Tentu saja tidak," jawab Daisy ketus, matanya berkilat marah.

"Lalu kenapa kamu jadi sangat marah sekarang?" tanya Dean dengan santai, nadanya tetap tenang meski pertanyaannya mengusik. Daisy terdiam sejenak, berusaha merangkai kata-kata yang tepat di tengah perasaan yang bercampur aduk.

"Saya tidak marah... saya hanya kesal. Saya seperti ditipu oleh seseorang," jawabnya lirih, suaranya terdengar lebih rapuh dari yang ia inginkan. Namun, Dean hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak, seolah semua kata-kata Daisy tidak berpengaruh padanya.

"Aku tidak menipu," ucap Dean tenang, nada bicaranya tetap stabil, tanpa keraguan.

"Itu menipu namanya! Bapak pasti sudah tahu saya adalah pegawai Bapak, kan? Tapi Bapak tidak mengatakan apa-apa," kata Daisy, suaranya meninggi, menuntut kejelasan.

"Hah... bagaimana itu bisa dibilang menipu?" balas Dean sambil menatap Daisy dengan nada bercanda, seolah menikmati konfrontasi kecil ini.

"Pokoknya itu penipu, hmm!" Daisy mendengus, wajahnya tampak kesal seperti anak kecil yang mengambek. "Bagaimana bisa Bapak mencuri data pegawai Anda sendiri?" lanjut Daisy, kali ini tanpa menatap Dean, mencoba menghindari pandangannya yang seolah-olah bisa menembus pikirannya.

"Mencuri?" Dean tertegun, tak percaya dengan tuduhan Daisy.

"Iya, mencuri! Makanya Bapak tahu dengan cepat di mana saya tinggal!" Daisy berbicara dengan tatapan sinis, merasa tidak adil atas semua yang terjadi.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang