22

11 2 0
                                    

Leon mendengus dengan nada penuh kejengkelan, ekspresinya mengeras saat amarahnya meluap tanpa kendali. Dalam sekejap, tangannya melayang di udara, keras dan cepat, menghantam wajah Daisy dengan brutal. Suara tamparan itu merobek keheningan malam, menggema di antara mereka. Daisy terhuyung, tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan pipi yang terbakar perih.

Leon, seolah tak cukup puas, melangkah mendekat, bayangan kelam tubuhnya menelan sosok Daisy yang terguncang dan lemah di bawahnya. Dia tertawa kecil, puas dengan kekejaman yang baru saja dilakukannya. Matanya menatap pipi merah Daisy dengan ekspresi aneh, campuran kesenangan dan kekuasaan.

"Itu cantik," ujarnya dingin, mencoba mengulurkan tangan, seolah hendak menyentuh wajah Daisy sekali lagi. Tapi Daisy, meski tubuhnya bergetar hebat, dengan cepat menepis tangan itu, menolak disentuh lagi.

Wajah Leon berubah, ekspresinya menyempit tajam. "Hah, Daisy... Jangan menguji kesabaranku," desisnya, nadanya berubah semakin dingin, penuh ancaman yang terselubung di balik kemarahan yang nyaris meledak.

Kedua matanya menatap tajam ke arah Daisy yang kini tersandar lemah di tanah, tapi ada nyala api kecil dalam tatapannya, seakan meski terpojok, dia masih memiliki kekuatan untuk melawan. Leon menggeram rendah, frustrasi. "Karena kau, aku hampir terkena masalah. Jangan membuatku menjadi orang jahat, Daisy."

Leon mencengkeram wajah Daisy dengan kasar, tangannya menekan kuat meskipun Daisy mencoba melawan dengan sia-sia. Wajah mereka semakin dekat, napas Leon terasa di wajah Daisy, nyaris menyentuh bibirnya. Namun, tiba-tiba suara dering HP memecah ketegangan. Dering itu berasal dari saku jas Leon. Meskipun awalnya dia mengabaikannya, gerakannya mendadak terhenti ketika sebuah suara dari kejauhan memanggil.

"Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya?" Suara seorang wanita terdengar kesal, semakin mendekat.

Leon segera melepaskan Daisy, berdiri, dan melangkah keluar dari terowongan mawar itu. "Rose?" panggilnya dengan nada yang berbeda, jauh lebih lembut, hampir terkejut. Tidak jauh dari sana, seorang wanita cantik dengan gaun anggun muncul. Sifat Leon berubah total dalam sekejap, senyum tipis mengembang di wajahnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya wanita yang dipanggil Rose, suaranya penuh dengan tanda tanya.

Leon tersenyum, seolah mencoba menenangkan suasana. "Hanya... berada di sini mengingatkanku padamu," katanya sambil mendekati Rose, lalu mencium pipinya dengan tiba-tiba. Rose tampak terkejut dengan gerakan spontan itu.

"Apa yang kamu lakukan? Di sini banyak orang!" Rose berbisik cemas, matanya melirik sekeliling.

Leon tersenyum cemberut. "Aku merindukanmu... Karena di dalam, aku tidak bisa bersamamu. Aku sedih, jadi aku disini sambil memikirkanmu..." ucap Leon dengan nada memelas, tapi matanya berbinar penuh gairah.

Rose, meskipun merasa kasihan dengan situasi mereka, tetap mencoba bersikap rasional. "Aku tahu, aku tahu... Tapi tolong, jangan sekarang. Ada banyak mata yang bisa melihat kita. Bagaimana jika aku ketahuan?" katanya dengan khawatir.

Leon tampak kecewa. Tapi kemudian Rose melirik terowongan bunga mawar di mana Leon baru saja keluar. "Kamu habis dari terowongan itu kan? Mungkin di terowongan kita bisa berduaan dulu," ucapnya dengan nada menggoda.

Leon melirik ke arah terowongan yang ditutupi bunga mawar merambat itu, sedikit ragu. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Leon bertanya, "Apa acaranya sudah selesai?"

"Ya... sebenarnya aku sudah tidak dibutuhkan lagi. Aku hanya datang untuk menggandeng tangan pria itu saja," jawab Rose dengan nada santai, seolah tak ingin memperpanjang masalah.

"Benarkah?" Leon bertanya dengan antusias, senyum kembali menghiasi wajahnya.

Rose mengangguk kecil. "Kalau begitu, ayo pergi cepat. Aku sudah lapar," kata Leon sambil meraih tangan Rose dengan semangat.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang