Prolog

184 6 0
                                    

Januari 2024

Di ruang rapat yang luas dan megah, Daisy Alyssa dan Raphael sedang mempersiapkan pertemuan penting. Mereka dengan teliti menata berbagai berkas dan merapikan kursi-kursi di sekitar meja konferensi besar. Suasana kerja yang tenang mendadak terganggu ketika pintu ruangan terbuka dengan cepat.

Dean Othman Dallas memasuki ruangan dengan tatapan marah yang tak bisa disembunyikan. Matanya langsung tertuju pada Daisy dan Raphael, dan ekspresi kemarahan di wajahnya jelas terlihat.

Daisy, yang merasa terkejut dan cemas dengan kedatangan Dean yang tiba-tiba, mencoba menghindar dengan berpaling ke arah meja. Namun, Dean tidak memperlihatkan tanda-tanda mereda. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan nada tegas dan marah. "Kenapa ada Raphael di sini?"

Raphael, merasakan ketegangan yang meningkat, mencoba untuk berbicara. "Pak saya hanya-"

Namun, Dean langsung memotongnya, suaranya semakin keras dan penuh kemarahan. "Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun. Raphael, pergi dari sini sekarang! Aku perlu berbicara dengan Daisy."

Raphael, meski terlihat bingung dan tidak nyaman, tidak berani membantah. Dia mengangguk dengan cepat, meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, meninggalkan Daisy sendirian dengan Dean.

Setelah Raphael keluar, suasana di ruang rapat menjadi semakin tegang. Dean Othman Dallas berdiri tegak, menatap Daisy dengan kemarahan yang jelas terlihat di wajahnya. Suaranya penuh tekanan saat dia melanjutkan, "Sekarang, jawab pertanyaanku. Kenapa kamu terus menghindariku, Daisy? Kamu pikir kamu siapa membuatku seperti ini?"

Daisy bingung, dia tidak mengerti maksud pria didepannya itu. pikirinnya menjadi kalut, merasa terjepit dan cemas, dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk memberikan jawaban. Namun, sebelum dia bisa membuka mulutnya, pintu ruangan terbuka dengan cepat.

Ian, Sekretaris Dean, masuk dengan wajah yang menunjukkan rasa kaget dan profesionalisme. "Maaf mengganggu, Pak Dean. Rapat akan segera dimulai dalam beberapa menit lagi. Ini beberapa dokumen penting yang perlu Anda tanda tangani."

Dean, meskipun masih terlihat marah, menoleh sejenak kepada Ian. "Taruh saja di meja. Saya masih harus berbicara dengan Daisy."

Ian, menyadari ketegangan di udara, meletakkan dokumen di atas meja dan meninggalkan ruangan dengan cepat, menutup pintu di belakangnya. Dean kembali menatap Daisy, yang tampak semakin tegang, menunggu jawaban atas pertanyaannya yang belum terjawab.

Daisy merasa seolah dunia di sekitarnya berhenti bergerak. Setiap detik yang berlalu membuat tekanan semakin berat di dadanya. Ia mengalihkan pandangannya sejenak ke meja, mencoba menemukan ketenangan di tengah kekacauan emosinya.

"Pak..." Daisy memulai dengan suara yang nyaris berbisik, meski begitu, suaranya terdengar bergetar karena ketegangan. "Saya tidak mengerti... Mengapa Anda marah? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Dean, yang berdiri di depannya dengan rahang yang masih mengeras, hanya menatap Daisy tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seolah berusaha mengendalikan emosinya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka mulut.

"Kamu benar-benar tidak tahu?" jawab Dean dengan nada sinis, matanya tetap tajam menatap Daisy. Dean mulai mencengkeram bahu Daisy, suasana di dalam ruangan berubah menjadi lebih intens. Sentuhan tangannya yang keras dan penuh amarah membuat Daisy terperangkap dalam ketegangan yang tak terelakkan. Dia merasa takut dan tak berdaya, namun pandangannya akhirnya beralih ke wajah Dean, yang dipenuhi dengan kemarahan yang tak tertahankan. Hatinya bergejolak, perasaan bingung dan ketakutan bercampur menjadi satu.

Dean meninggikan suaranya, "Jangan berpura-pura tidak tahu, Daisy! Kamu membuatku seperti ini-!"

Namun, sebelum Daisy sempat memberikan jawaban, suara ketukan di pintu memecah ketegangan. Itu adalah Ian, yang dengan penuh profesionalisme kembali meminta izin masuk, menyadari bahwa rapat harus segera dimulai.

Dean akhirnya melepaskan genggamannya dan menatap Ian dengan tatapan tajam. "Masuk, Ian," katanya dengan nada lebih terkendali, meskipun kemarahan masih terpancar dari matanya.

Ian masuk dengan langkah tenang, membawa dokumen penting ditangannya, sesaat ia menatap Daisy dengan khawatir, meskipun dia berusaha untuk tidak memperlihatkan terlalu banyak emosi.

Dean menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya sebelum beranjak menuju kursinya di meja konferensi. Rapat akhirnya dimulai, tetapi Dean tidak bisa menyembunyikan pandangan tajamnya yang terus sesekali mengarah pada Daisy. Perasaan yang tidak terucapkan menggantung di udara, membebani setiap percakapan yang berlangsung di dalam rapat itu.

Daisy, yang kini duduk di ujung meja, berusaha keras untuk tetap fokus pada pertemuan, meskipun hatinya masih berdebar keras. Dia tahu bahwa masalah dengan Dean belum selesai, dan meskipun pertemuan itu berlangsung dengan lancar, ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantui dirinya.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang