28

9 2 0
                                    

Dean mengatur selimut Daisy yang terlelap di sofa dengan perlahan, memastikan kehangatan melindunginya dari hawa dingin. Tatapannya melekat pada wajah Daisy yang tenang, meskipun pikirannya berkecamuk. Suaranya rendah saat ia bertanya pada Malia, yang berdiri tidak jauh darinya.

"Apa yang dilakukannya hari ini?" tanya Dean, nadanya nyaris berbisik, namun dingin dan tegas.

Malia menundukkan kepala sedikit sebelum menjawab. "Nona bangun tak lama setelah Anda pergi, Tuan. Ia turun untuk sarapan, dan meskipun makannya cukup baik, porsinya masih kecil. Setelah itu..." Malia berhenti sejenak, seperti memilih kata yang tepat.

"Setelah itu?" desak Dean, suaranya pelan namun tajam.

Malia melanjutkan, sedikit khawatir. "Setelah sarapan, Nona bersikeras membantu saya membersihkan rumah. Saya sudah mencoba menghentikannya dan meminta ia menjaga kesehatannya, tapi ia tetap tidak mau mendengarkan. Nona bilang bahwa Anda sudah mengizinkannya beraktivitas."

Wajah Dean tetap tanpa ekspresi, namun matanya terlihat semakin dingin. "Lalu?"

"Pada akhirnya, Nona kelelahan, Tuan. Saya menyarankannya beristirahat di kamar, tapi ia memilih tidur di sofa ini, katanya karena pemandangan dari sini indah."

Dean menatap wajah Daisy yang terlelap dengan sorot tajam, lalu bertanya lagi, lebih pelan namun dengan tekanan yang jelas, "Hanya itu?"

Malia menarik napas sebelum menjawab, seperti mempersiapkan dirinya untuk informasi berikutnya. "Nona tadi sempat bertanya apakah ia bisa meminjam ponsel saya. Saya langsung memberikannya, tanpa bertanya untuk apa."

Tatapan Dean semakin gelap, dia memandang Malia dengan ketenangan yang nyaris menyeramkan. "Dan?"

"Saya mendapati ia menelepon sebuah nomor... nomor itu adalah nomor ponselnya sendiri," lanjut Malia, nyaris berbisik. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menyerahkannya kepada Dean. "Saya merekam percakapan yang terjadi, Tuan."

Dean menerima ponsel itu tanpa sepatah kata, dan dengan langkah sunyi namun penuh ketegangan, ia melangkah keluar ruangan, ponsel di tangan. Dalam senyap, ia mendengarkan isi rekaman percakapan Daisy. Setiap kata yang terdengar seolah memicu kemarahan dingin di dalam diri Dean.

***

Di dalam mobil yang melaju perlahan, Dean memandang keluar jendela, melihat cahaya lampu kota yang berpendar di perempatan jalan. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia bertanya pelan, "Kemana kita akan pergi?"

Daisy, yang duduk di sampingnya, sibuk merogoh saku bajunya, mencari sesuatu. Tangan kecilnya akhirnya mengeluarkan beberapa lembar kertas yang ternyata adalah catatan-catatan kecil yang Dean tinggalkan untuknya. Dean melirik sekilas dan merasa anehnya terharu. Dia tak menyangka bahwa Daisy masih menyimpan kertas-kertas itu.

"Hmm... ini dia alamatnya," Daisy akhirnya berkata sambil melihat ke arah Dean. "Apartemen Pollow Stunbort, nomor 30A," lanjutnya sambil menyerahkan kertas tersebut.

Dean mengambilnya, menatap alamat yang tertulis, lalu tanpa banyak bicara, meremuk kertas itu erat di genggamannya. Daisy memandangnya bingung, namun memilih tak bertanya lebih jauh.

Sesampainya di apartemen Pollow Stunbort, mobil berhenti perlahan di area parkir, lalu menoleh ke Daisy. "Sudah sampai," ucapnya datar, namun ada sesuatu dalam suaranya yang sulit ditafsirkan.

"Apa kita sudah sampai?" tanyanya dengan nada ragu, memandang sekitar.

"Ya. Apa yang akan kamu lakukan di sini?" Dean bertanya, masih memandang lurus ke depan.

"Saya mau ambil tas saya. Teman saya, Raphael, menyimpannya." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan sedikit ragu, "Pak, boleh saya pinjam ponsel Bapak sebentar?"

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang