9

17 3 0
                                    

"Hei... hei, kamu gak papa? Apa kamu sakit? Kenapa kamu keringat dingin seperti ini? Wajahmu pucat sekali," tanya seorang wanita dengan nada penuh kekhawatiran. Wanita itu berjongkok di samping Daisy yang gemetar dan pucat. Suaranya terdengar lembut namun cemas, matanya mencari jawaban dari wajah Daisy yang terlihat kosong.

Daisy hanya bisa menunduk, gemetar, dan tak mampu menjawab. Rasanya seolah tubuhnya telah hilang kendali. Wanita berambut pendek itu menuntun Daisy untuk berdiri, mengarahkannya keluar dari koridor toilet ke sebuah bangku terdekat. Daisy mengikuti dengan langkah yang goyah, pikirannya masih terjebak dalam kabut ketakutan yang tak bisa dijelaskan.

"Tunggu di sini sebentar, aku akan kembali," ucap wanita itu dengan suara meyakinkan, memastikan Daisy duduk dengan nyaman di bangku. Setelah itu, wanita itu segera bergegas pergi. Daisy masih menunduk, mencoba mengatur napasnya yang berat, sambil terus berjuang untuk menenangkan tubuhnya yang terus bergetar.

Tak lama kemudian, wanita berambut pendek itu kembali membawa sebotol air minum dan sebutir obat kecil. "Ini, minumlah. Dan ini obatnya," katanya sambil menyodorkan botol air dan obat kepada Daisy. Daisy memandanginya sejenak. Dia melihat bahwa obat itu adalah obat sakit menstruasi. Mungkin wanita itu berpikir Daisy sedang mengalami nyeri datang bulan.

Daisy menatap wanita itu dengan penuh terima kasih. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, dia mengambil botol air itu dan meneguknya perlahan. Rasa air yang dingin menenangkan tenggorokannya yang kering, sedikit demi sedikit membuatnya merasa lebih baik. Meski obat itu mungkin tidak tepat untuk rasa sakit yang dia alami sekarang, tindakan baik wanita itu membawa sedikit rasa lega dalam kepanikan yang menyelimutinya.

"Terima kasih..." gumam Daisy pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Wanita itu tersenyum lembut, duduk di sampingnya dan mengangguk dengan pengertian, memberinya ruang untuk bernapas dan pulih.

Setelah beberapa saat menunggu Daisy untuk tenang, wanita itu mulai membuka suara dengan nada lembut dan penuh perhatian. "Kau dari anak magang itu, ya? Bagian perencanaan... desain, dan komunikasi. Benar kan?" tanya wanita berambut pendek itu. Daisy mengangguk pelan, mengonfirmasi apa yang dikatakan nya benar.

"Kenalin, aku Lucy Luciana. Aku dari tim pemasaran. Kita mungkin akan sering bertemu," kata Lucy sambil tersenyum ramah. Dia duduk di sebelah Daisy, memberikan kesan nyaman dan familiar.

"Saya Daisy Alyssa, dari tim perencanaan desain dan komunikasi. Saya magang di sini selama tiga bulan. Mohon bantuan Ibu Lucy ke depannya." Daisy merasa sedikit lebih nyaman dengan perkenalan tersebut. "Terima kasih atas bantuan dan perhatiannya Bu."

Lucy tertawa ringan. "Hei, kenapa panggil ibu? Apa aku terlihat sangat tua?" Dia menggoda, meski wajahnya tetap ramah. Daisy cepat-cepat menggeleng, merasa sedikit canggung. "Kalau begitu, berapa umurmu?" tanya Lucy.

"Ehm, 24," jawab Daisy.

"Berarti kau adik ku," kata Lucy dengan senyum lebar. "Aku 26. Jadi panggil aku kakak saja."

Daisy tersenyum malu, merasa lebih akrab dengan panggilan itu. "Baiklah, Kak Lucy."

Lucy mengamati Daisy dengan penuh empati. "Ini hari kedua, kan? Pasti sulit, terutama dengan situasi di perusahaan. Atasan kita benar-benar gila. Baru saja sibuk merilis proyek sebelumnya, sekarang dia sudah menyuruh kita untuk memulai proyek baru. Dasar sinting," keluhnya, dengan nada mendumel yang penuh frustrasi.

Daisy mengangguk setuju, merasa lega karena ada seseorang yang mengerti kesulitan yang dia alami. "Iya, rasanya sangat membingungkan dan melelahkan."

Lucy mengangguk, menunjukkan dukungan. "Jangan khawatir, kita semua di sini mengalami hal yang sama. Kita saling mendukung. Lagipula, kita kan tim. Aku yakin kita bisa melalui ini bersama."

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang