17

14 3 0
                                    

Sarapan mereka berakhir dalam keheningan. Daisy bangkit lebih dulu, mulai membereskan piring dan peralatan masak. Dean ikut membantunya, meskipun tanpa banyak bicara. Daisy membiarkannya, tak ingin menambah ketegangan. Ketika mereka selesai, Daisy beralih untuk membersihkan hal-hal lain, sementara Dean duduk termenung di sudut sofa, seolah hanyut dalam pikirannya sendiri.

Waktu berlalu, namun Dean tak juga beranjak. Daisy mencoba untuk tak peduli—ia sibuk bermain dengan kucing peliharaannya, berusaha mengalihkan pikiran dari tamu tak diundang itu. Namun, ketika jam dinding berdetak semakin keras, Daisy tak bisa lagi mengabaikan kenyataan bahwa Dean masih di sana, membisu dalam dunia yang sepertinya hanya miliknya sendiri.

Daisy mendekat perlahan, ragu-ragu, dan saat itulah ia melihatnya—Dean yang terlelap di sofa dengan mata yang basah. Ia menangis dalam tidurnya, dengan air mata yang mengalir diam-diam di pipinya. Wajahnya terlihat tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang sedang menangis. Pemandangan itu begitu mengejutkan Daisy hingga ia terpaku sesaat.

"Hei..." panggil Daisy, mencoba menggoyang bahunya dengan lembut. Namun, Dean tak merespon. Ia terus menangis, tanpa suara, seolah ada kesedihan yang lebih besar dari kata-kata yang mengurungnya di dunia mimpi. "Hei, kau tidak apa-apa? Hei...Dean, bangunlah," Daisy memanggilnya lagi, kali ini menepuk pelan pipinya, berharap bisa membangunkannya.

Dean tetap tak bergerak, tak ada tanda-tanda kesadarannya kembali.

"Dean... bangunlah," suara Daisy terdengar lirih, nyaris bergetar oleh kebingungan yang membuncah di dadanya. Ia menepuk-nepuk pipi Dean dengan lembut, mencoba membangunkannya dari mimpi buruk yang begitu nyata. Tapi Dean tetap tak bergeming, tenggelam dalam tidurnya yang kacau. Air mata masih terus jatuh, membasahi wajahnya yang terlihat begitu rapuh.

Daisy bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan—ada rasa sakit yang dalam, tersembunyi di balik air mata itu, sesuatu yang tak pernah diungkapkan Dean dengan kata-kata. Semakin lama ia memandang Dean yang terisak tanpa suara, semakin kuat perasaan simpati yang tumbuh di hatinya. Ia sadar, di hadapannya bukan hanya seorang pria yang tersesat, tapi seseorang yang sedang berjuang dengan luka yang tak terlihat.

Tanpa berpikir panjang, Daisy mendekat dan memeluk Dean, menariknya ke dalam dekapannya yang hangat. Ia merasakan tubuh Dean yang tegang, seakan masih dalam pertarungan dengan dirinya sendiri. Tapi Daisy tidak mundur, justru mempererat pelukannya, berusaha menenangkan Dean dengan caranya yang sederhana.

"Tenanglah...," bisik Daisy dengan lembut, suaranya hampir seperti belaian lembut yang menenangkan. "Tidak apa-apa, Dean. Tidak ada yang menyakitimu di sini."

Ia terus memeluk Dean, memberikan sedikit ketenangan yang bisa ia tawarkan. Tubuh Dean perlahan mulai melemas, napasnya yang tadi terengah-engah kini lebih tenang. Namun air mata masih mengalir, membawa serta kepedihan yang tak kunjung hilang. Daisy mengusap punggungnya dengan lembut, berharap gestur sederhana itu bisa menenangkan sedikit kegelisahan yang menghantui Dean.

"Tenanglah, Dean" lanjut Daisy, kali ini dengan suara yang lebih tegas namun penuh rasa sayang. "Aku tidak akan mengusirmu, jadi berhenti menangis."

Dean tak memberi jawaban, namun ia perlahan merespon pelukan Daisy. Meski matanya masih tertutup dan air matanya belum berhenti, ada rasa aman yang perlahan menyusup ke dalam dirinya. Dalam keheningan itu, mereka berdua saling memahami tanpa perlu berkata-kata. Daisy tetap memeluknya, memberikan rasa nyaman pada Dean. Entah bagaimana, di pelukan itu, Dean merasa ia tidak sendiri lagi.

Dean akhirnya terbangun perlahan, tapi ia masih tetap dalam pelukan Daisy, seolah tak ingin melepaskan kehangatan yang baru saja ia temukan. Daisy merasakan tubuh Dean bergerak gelisah, seakan mencari posisi yang lebih nyaman, mencoba menemukan ketenangan dalam dekapan yang tak terduga.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang