27

10 1 0
                                    

"Tapi, Nona," katanya, suaranya mencerminkan kebingungan.

Dia yakin maksud tuannya untuk melakukan apapun bukan termasuk membersihkan pekerjaan rumah. Namun, melihat kegigihan dan determinasi di mata Daisy, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Baiklah," akhirnya Maria mengalah, meski wajahnya masih menunjukkan keraguan. "Jika itu benar-benar yang Nona inginkan, saya tidak akan melarangnya. Tapi, ingatlah untuk tidak mengabaikan kesehatan Nona. Tuan Dean pasti akan marah jika dia tahu Nona bekerja terlalu keras."

Daisy tersenyum lega, merasa seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. "Terima kasih, Bibi Malia. Saya hanya ingin merasa berguna di sini," ujarnya dengan tulus.

Malia mengangguk, meskipun dia merasa cemas memberi tugas pada Daisy. Dia hanya memberikan pekerjaan yang sangat ringan, berharap bisa mengawasi kondisi kesehatan Daisy. Namun, upayanya tampak sia-sia.

Setiap kali Malia mulai melakukan pekerjaan yang lebih berat, Daisy selalu cepat mengambil alih, bertekad untuk membantu. Malia hanya bisa pasrah sambil terus memperingatkan Daisy agar tidak mengabaikan pemulihannya.

Waktu berlalu, dan tak terasa Daisy tertidur di ruang tamu. Awalnya, dia hanya ingin beristirahat sambil menikmati pemandangan luar apartemen, tapi ketika ia membuka mata, ia mendapati hari sudah sore. Awan putih di langit telah berganti menjadi warna oranye yang indah, memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan.

Daisy terbangun, menyadari bahwa tanpa sadar, sebuah selimut telah menyelimutinya. Ia menatap sekeliling yang masih kosong,

"Apa Bibi yang melakukannya?" pikirnya.

Daisy bangkit perlahan, rasa kantuk masih sedikit menggelayut, dan mulai berjalan ke arah dapur sambil memanggil pelan, "Bibi Malia?"

Namun, dapur kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan. "Apa Bibi sudah pulang?" batin Daisy, mulai merasa sedikit khawatir.

Ruangan itu mendadak terasa begitu sunyi. Keheningan yang tadinya tak ia sadari kini mulai menyesakkan, membuatnya sadar betapa sendirinya dia saat ini. Daisy hanya berdiri di tengah ruangan, bingung harus melakukan apa.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka terdengar dari arah depan. Daisy terkejut dan segera beranjak menuju sumber suara dengan penuh antisipasi. "Bibi?" ucapnya dengan sedikit semangat, berharap Malia telah kembali.

Namun, langkahnya terhenti begitu ia melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Bukan Bibi Malia.

Dean.

Daisy terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Wajahnya yang tadinya dipenuhi harapan kini menampakkan rasa kaget dan bingung. Mungkin ada sedikit kekecewaan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Dean melihat reaksi Daisy, lalu menyeringai kecil, matanya memandangnya lekat-lekat. "Ada apa dengan wajah kecewa itu?" tanyanya dengan nada rendah, tapi masih terdengar nada menggoda dalam suaranya.

Daisy tak tahu harus menjawab apa, kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya.

Dean menutup pintu di belakangnya dengan perlahan, melangkah mendekat dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Daisy. Ada perhatian yang mendalam dalam pandangannya, seolah ingin memastikan bahwa Daisy benar-benar baik-baik saja.

Dengan suara lembut tapi tetap tegas, Dean bertanya, "Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah kamu merasa lebih baik?"

"Saya sangat baik," jawab Daisy singkat.

"Benarkah?" tanya Dean lagi, tak sepenuhnya yakin dengan jawaban singkat itu.

"Iya," jawab Daisy singkat, sambil berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, sementara Dean mengikuti langkahnya dari belakang.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang