8

23 4 0
                                    

Dua hari telah berlalu sejak kejadian di klub, dan akhirnya Daisy diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Dia tidak pernah membayangkan bahwa meminum sedikit alkohol akan membuatnya begitu sakit hingga keracunan. Ketika dia melangkah keluar, udara terasa dingin menyentuh kulitnya, tetapi pikiran dan hatinya terasa jauh lebih berat. Dia menatap layar handphone, membaca kembali pesan-pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Leon, namun sejak kejadian itu, Leon tidak pernah sekalipun menghubunginya.

Daisy merasa ada lubang besar di dalam hatinya. Kesedihan membanjiri, bercampur dengan perasaan bersalah dan ketidakberdayaan. Apakah dia telah mengecewakan Leon? Apakah dia tidak cukup sebagai pasangan? Selama ini, dia tahu bahwa Leon berusaha keras menyesuaikan diri dengan caranya yang tertutup, sementara Daisy sendiri merasa tidak mampu memberikan apapun yang cukup untuk Leon.

Dengan lelah, dia menutup matanya sejenak, menghembuskan napas panjang untuk mencoba menenangkan diri. Perlahan, dia mulai berjalan menuju halte bus, tak sepenuhnya menyadari ke mana langkahnya membawanya. Selama perjalanan, pikirannya terus berputar tentang Leon, tentang apa yang telah terjadi, dan tentang apa yang mungkin salah antara mereka.

Ketika akhirnya bus berhenti, Daisy baru tersadar. Dia berada di depan blok apartemen Leon. Tanpa sadar, kakinya telah membawanya ke sini, tempat di mana Leon tinggal—di blok yang hanya berjarak beberapa langkah dari apartemennya sendiri. Dia menatap bangunan yang sudah begitu familiar, perasaannya campur aduk antara keinginan untuk bertemu Leon dan keraguan yang terus mengganjal di hatinya.

Dengan sedikit ragu, Daisy berjalan ke pintu Leon dan berdiri di sana, jantungnya berdebar kencang. Dia menekan bel pintu dengan tangan yang gemetar. Tidak ada jawaban. Dia mencoba sekali lagi, dan kali ini terdengar suara dari dalam.

"Tunggu sebentar," suara Leon terdengar dari balik pintu.

Pintu itu terbuka, dan di hadapannya berdiri Leon. Daisy terkejut melihat penampilan Leon yang kusut dan berantakan, tanpa mengenakan baju. Leon juga terlihat sangat terkejut melihat Daisy berdiri di depan pintunya. Daisy gugup, wajahnya memerah karena malu, dan dia langsung berbalik, tidak tahu harus berkata apa.

"Leon..." Daisy akhirnya memanggil dengan suara terbata-bata, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, rasa malunya tiba-tiba menguap ketika seorang wanita lain muncul dari belakang Leon.

Wanita itu melangkah mendekat dengan gerakan malas, rambutnya berantakan, dan matanya masih terlihat mengantuk. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Leon dan berkata dengan suara lembut, "Sayang, siapa yang datang?"

Daisy membeku di tempatnya. Hatinya jatuh, seolah-olah hancur dalam sekejap. Wanita itu, yang jelas baru saja bangun dari tidur bersama Leon, memeluknya dengan keakraban yang membuat Daisy merasa mual. Mata Daisy membelalak, penuh dengan kesedihan dan kebingungan.

Sementara, Leon tampak gugup, wajahnya sedikit memucat. "Daisy... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya, mencoba mencari kata-kata. Namun, Daisy hanya bisa menatap Leon dengan mata yang penuh air mata yang belum jatuh. Dunia di sekitarnya terasa hening, dan suara hati yang mengingatkannya tentang perasaannya yang hancur bergaung di dalam kepala.

Tanpa berkata apa-apa, Daisy memutar tubuhnya, bergegas pergi. Langkah-langkahnya terasa berat, tapi dia tidak berhenti. Dia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari tempat itu—dari Leon, dari rasa sakit yang baru saja menghantamnya dengan begitu keras. Setiap langkah seperti membawa beban yang tak terlihat, namun dia terus berjalan, berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata yang hampir jatuh.

Ketika dia akhirnya sampai di sudut jalan, Daisy berhenti sejenak, menarik napas panjang. Perasaan kosong melingkupi dirinya. Segala harapan yang selama ini dia bangun bersama Leon terasa hancur berantakan dalam sekejap. Apa yang ia rasakan selama ini mungkin tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Perlahan, air mata yang ditahannya pun mengalir di pipinya.

Diantara Penolakan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang