Kisah Kita

2.9K 7 0
                                    

Semuanya bukan mimpi. Saat aku membuka mata. Satria masih menemaniku. Duduk disampingku. Dan kepala rebah di samping lenganku. Seperti dejavu. Kembali melihatnya dalam posisi ini. Ini jam berapa ?? Ahh masih jam 4 pagi.
Aku mencoba terpejam lagi tapi yang terjadi justru kilasan peristiwa beberapa tahun lalu. Awal kenal Satria. Dia menjauh. Pernikahan ku. Pisahnya aku dan Rian. Pernyataan cinta aku untuk Satria hingga depresi Satria. Hingga hari-hariku beberapa bulan ini yang hanya lebih banyak menemani Sarria. Aku tersedu, mencoba menahan isak. Aku tak tau secepat ini semua doa dan harapanku terkabul. Fikirku akan lebih lama lagi waktu untuk menemani Satria melihat bingkai jendela dalam kebisuan. Tapi lihatlah ini, Sang Maha Kuasa mengabulkan semua pintaku. Menjawab resahku. Dan mengembalikan Satriaku

" Ada yang sakit Farah ?? Aku panggil suster jaga ya ?? Malam begini dokter Anggita pasti sudah pulang." Lihatlah aku terlalu sibuk dengan pikiranku, sehingga abai tak sadar telah mengganggu tidur Satria. Aku menahan lengan Satria saat ia akan bangkit dari duduknya. Aku menggelang lemah.

" Enggak ?? Tapi kamu kesakitan gitu sampai nangis."

" Bukan karena sakit Sat. Udah kamu duduk aja. Aku lapar. Tolong ambilkan roti itu aja."

" Kamu yakin ya enggak sakit ??"

Aku jawab dengan anggukan dan senyum. Akhirnya sisa malam hanya di habiskan dengan aku yang makan roti sambil di tatap oleh Satria. Sesekali kami bercerita tapi lebih banyak mata Satria tak lepas menatapku. Aku tak kuat lama-lama ditatap seperti itu. Aku gugup. Satria tak pernah menatapku dengan tatapan yang seperti sekarang. Seperti ada rindu yang ingin dia sampaikan. Seperti ada cinta yang ingin dia utarakan. Seperti kekasih yang berharap balas akan perasaannya. Kami berdua sama-sama tau isi hati masing-masing tapi aku belum pernah mendengar kata-kata itu dari bibirnya. Hanya aku yang pernah menyatakannya.

" Loh kalian sudah bangun ?? Masih sakit ??" Itu ibuku. Menjeda lamunanku. Ibu tidur di kasur yang memang disediakan untuk yang menjaga pasien. Sementara dari percakapan kami tadi aku tahu bahwa mama Satria pulang ke rumah, setelah di paksa Satria untuk tidak ikut menungguku.

" Udah enggak sakit banget buk. Obatnya bekerja dengan baik."

" Ya sudah. Eh udah azan subuh belum ya ??"

" Belum Bu. Paling 5 menit lagi." Satria yang menjawab.

Tak lama ibu masuk kamar mandi. Mungkin mau cuci muka dan wudhu. Sementara Satria sempurna menatap ku lagi.

" Kamu tu kenapa sih dari tadi ngeliatnya gitu. ?? Muka aku kenapa ?". Akhirnya aku tanyakan juga. Enggak kuat lama-lama hanya di lihat. Satria hanya tersenyum dan tetap diam. Aku malas bertanya lagi. Tak lama dia bangkit dan sedikit menundukkan kepalanya. Satria mencium rambutku.

" Rindu kamu "

Setelahnya dia keluar kamar. Meninggalkan aku. Aku yang mendadak kaku terdiam. Ini kontak fisik paling intim yang pernah aku dan Satria lakukan. Dan tadi dia bilang apa ?? Rindu ?? Aku tau arti kata itu. Karena bertahun tahun aku hidup dengan kata itu. Bertahun tahun aku juga rindu kamu, Satria.
.
.
.

Aku hanya beberapa hari di rawat. Dan ternyata tak perlu waktu lama untuk dinyatakan sembuh. Karena hanya tulang punggungku yang sedikit bergeser. Lewat beberapa terapi akhirnya aku pulih.

Aku kembali menjalani rutinitasku. Hanya satu yang berubah tak ada lagi kunjungan rutin ke Rumah Sakit. Sekarang kunjungan itu berganti Satria yang rajin datang ke kantor ku atau main ke rumah.

Satria mulai sibuk dengan bisnis yang ditinggalkan oleh ayahnya. Ada beberapa toko buku yang terbengkalai karena konflik keluarga mereka. Dan ada beberapa supermarket yang harus di kontrol. Satria terlihat bersemangat kembali membangun bisnis keluarganya. Dia ingin peninggalan ayahnya tak sia-sia. Dia berusaha agar beberapa toko buku itu bisa bangkit dari kondisi yang hampir roboh.

Malam ini Satria mengajak aku makan di sebuah Resto khas Nusantara. Sepertinya dia sudah memesan meja. Karena ini hari minggu, tempat ini lumayan ramai pengunjung. Kami di antar ke salah satu ruangan yang cukup private di pojok ruangan. Kami memesan beberapa menu dan berbincang ringan. Satria mengatakan usaha nya untuk membuat bisnis keluarganya kembali berdiri sudah mulai menampakkan hasil. Aku juga bercerita mengenai keinginan membuka cabang Uniq Florist di Tanjung Uban dan Tanjung Pinang.

Semua ini melegakan. Kami seperti menemukan jalan yang seharusnya setelah beberapa kali tersandung dan harus keluar dari jalur. Hubungan ku dan Satria juga membaik, kami sering bertemu. Seolah Satria ingin kembali mengenalku. Mencoba mendekatkan diri. Walau belum ada kata cinta dari bibirnya. Aku tau dia berusaha memperbaiki semuanya. Mungkin tak mudah bagi Satria mengumbar kata sakral itu setelah semua yang kami lewati. Mungkin dia juga butuh waktu memantapkan hatinya .

" Farah.. "

" Kamu melamun ??"

" Eh.. ??? Enggak."

" Aku udah manggil kamu 3 kali. Yakin kamu enggak melamun ?"

" Masa sich 3 kali ??" Ini karena aku terlalu banyak memikirkan Satria. Hingga lupa sosok itu duduk di sampingku.

Satria hanya tertawa ringan. Akhir-akhir ini dia sering tertawa. Aku suka mendengarkan tawa itu. Seperti saat kami kuliah dulu, sebelum badai itu hadir.

" Jadi kapan kamu mau buka cabang di Tanjung Uban dan di Pinang ?"

" hmmm masih mau cek lapangan dulu sih. Sepertinya aku mau coba ke Tanjung Pinang dulu deh. Uban menyusul lah."

" ohhh. Udah nentuin waktu kapan mau ke ke Pinang nya ??" Satria bertanya sambil meminum jus timunnya.

" Rencana nya minggu ini. "

" Aku temani boleh ? "

" Kamu enggak sibuk ?"

Satria menggeleng.

" Sekali kali aku mau jalan-jalan. Capek juga mengurusi bisnis ini. Aku butuh refreshing. Lagian kita belum pernah liburan berdua kan. "

" Oke. Sabtu pagi berangkat ya. Minggu sore kita pulang. Gimana ??"

" Sip. " Satria mengacungkan dua jempolnya. Tampak bersemangat dengan ide jalan-jalan itu. Sepertinya dia memang butuh refreshing. Aku juga butuh selain mencari peluang bisnis. Semoga nanti aku bisa membawa berita baik untuk tim Uniq Florist.


Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang