Embun masih bergelayut dipucuk dedaunan
Langit pagi yang hari ini nampak murung
Tidak ada sapaan pagi dari pasangan burung-burung
Semuanya disini nampak sunyi
Seakan semua orang mengerti kesedihan wanita yang meringkuk dikegelapan hidup
Berjalan tertatih dengan luka yang menyayat hati
Dengan genggaman surat yang berada dalam kepalannya
Membangun satu persatu benteng-benteng yang runtuh
Menguatkan diri mendengar sosoknya datang kembali.Karina menutup bukunya, menghela nafas gusar. Ia sudah berada disekolah sejak jam 6 pagi dimana keadaan sekolah masih sangat pagi dan diluar yang diguyur oleh hujan. Sengaja Karina berangkat pagi karena ia menghindar dari tatapan muka orang-orang yang melihat wajahnya yang agak sembab dan kusut itu. Ia menenggelamkan kepalanya diatas meja mencoba untuk menutup matanya untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berkecamuk dikepalanya.
Keadaan dingin mulai memeluk tubuhnya. Karina yang merasa lelah beranjak pergi menuju koridor sekolah duduk menghadap lapangan basket yang basah dengan hujan deras yang mengguyur.
"Hufft..." Karina menghembuskan nafasnya. Tenang ketika angin dingin menerpa wajahnya. Entah kenapa ia begitu nenyukai hujan. Hujan selalu membuat dirinya tenang. Hujan selalu menemani masa-masa kecilnya.
Menurutnya hujan memberikan pelajaran berarti baginya. Jatuh tetap bangkit. Dicaci tetap tidak peduli. Tidak diinginkan tetapi selalu hadir. Hujan secara bersamaan lemah dan kuat. Langit yang terkadang menangis juga tegar dalam cacian. Selalu dan selalu begitu.
"Ngelamun aja entar kesambet."
Karina membuka matanya ketika mendengar suara seseorang dan menoleh kesampingan mendapati seseorang yang sedang menatap lapangan basket yang hujan.
"Aku gak ngelamun. Cuma menikmati suasana aja." Jawab Karina kembali ikut menatap kearah depan. Senyap, tidak ada pembicaraan dari keduanya hanya suara hujan serta petir yang beradu dalam lingkup ruang dingin.
"Ikuti apa kata hati kamu. Jangan terlalu dalam memikirkan hal-hal yang sebenarnya belum terjadi itu. Udah ayo ke kelas hujannya makin deras." Ari beranjak dari tempat duduk berjalan pelan meninggalkan Karina yang masih ditempatnya dengan banyak fikiran yang berkecamuk dikepalanya.
☔☔☔
"Rin lo bakalan ikut kan buat camping lusa." tanya Ira begitu mereka nenyantap makanan dikantin.
Karina yang saat itu baru memberi mie ayamnya dengan saos mengedikkan bahunya. "Entahlah, aku gak tau."
"Yah ihh gak seru. Ikut kali, sayang banget kalau enggak ikut alumni sini tuh ganteng-ganteng asal lo tau." tunjuk Ira dengan pentol yang berada digarpu.
"Makan tuh diem. Lagian udah punya pacar masih aja jelalatan." jawab acuh Sinta yang dibalas dengusan kesal oleh Ira.
"Udah deh jangan ribut. Iya, iya aku ikut. Lagian kayaknya bosen dirumah terus."
"Yeahhhh....." teriak Ira yang membuat seisi kantin menatapnya membuat Sinta mencubit tangannya dan menariknya untuk duduk tenang kembali.
"Toa banget sih tuh mulut. Ish... Ira bikin malu aja. Mulut ranjau begini ini."
"Bodo."
Karina hanya menertawainya. Selalu seperti ini. Setidaknya pikirannya hari-hari ini yang memusingkan hilang karena mereka. Hanya sementara. Mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Schicgen
Teen FictionSchicksal : Takdir Regen : Hujan Hujan. Keadaan dimana takdir mempertemukan mereka. Hujan. Bukti tanda atas perjuangan dan sakit hati. Hujan bisa berarti bahagia atau hanyalah kebahagiaan sesaat. Hampir semua orang menyukai hujan. Begitupun Ka...