Lukisan Masa Depan

5.8K 158 3
                                    

Sehabis isya, para santriwati berbondong-bondong menuju kelas atau tempat di mana saja di pondok pesantren ini yang terasa nyaman untuk dijadikan tempat belajar malam. Icut tak terlihat di kamar. Terakhir aku melihatnya menangis ketika membaca Al-Qur'an sebelum shalat magrib tadi. Aku enggan bertanya, hanya menoleh dan memperhatikannya. Aku tak ingin mengganggunya. Namun, itu adalah alasan mengapa Aku, Manda, dan Aisyah mencarinya sekarang ini. Beberapa gedung telah kami telusuri mencarinya dari satu kelas ke kelas lainnya, begitu juga di pondok-pondok kecil yang berjejer rapi di taman belakang, di aula serbaguna, bahkan kini sampai di dapur. Namun, ia tidak kunjung ditemukan, yang kami dapati di sana hanyalah satu sosok santriwati kelas saru yang sedang asyik menghafalkan pelajaran muthala'ah dengan suara lantang.

As-syuhuru al-arabitlyatu, itulah tema muthala'ah yang sedang dihafalnya. Sejenak aku tersenyum melihatnya berada di bawah meja makan. Ia membalas senyumanku dengan jejeran gigi yang tersusun rapi. Begitulah cara belajar di pesantren ini, tidak ada aturan dan cara khusus untuk penerapan belajar. Semuanya tergantung diri kita sendiri. Semua terserah selama tidak melewati batas. Tahap pencarian kini kami lanjutkan menuju masjid.

Feeling-ku mengatakan bahwa Icut pasti di sana, di atas masjid lantai dua. Dan itu terbukti ketika kami mendapatinya duduk manis di atad sajadah berwarna merah. Sengan tenang, icut membuka buku catatannya.

"Icut!" panggil Manda, senyumannya menyambut kami ramah.

"Dicari ke mana-mana .... Eh ternyata di sini," kataku duduk di sampingnya.

"Afwan! Maaf teman-teman," jawabnya.

Kami mengangguk. Sejenak kami terdiam tak tahu memukai pembicaraan. Icut pastinya sadar saat kami memperhatikannya dengan saksama ketika menangis saat membaca Al-Qur'an sebelum shalat magrib tadi dan tentulah ia tahu kami akan menanyakannya.

"Kamu ada masalah?" tanya Aisyah merangkul Icut. Icut tersenyum, membolak-balik lembaran buku catatan pelajarannya, kami pun kembali terdiam. Gemerincing suara lampu hias yang saling bersenggolan terbawa angin terdengar dari awang-awang masjid tempat kami bernaung. Kini terdengar makin jelas di indra pendengaranku.

"Tahukah kalian apa cita-citaku di masa mendatang?" tanya Icut.

Kami serentak menggeleng.

"Aku ingin mengabdi di pesantren ini. Aku ingin menjadi seorang ustadzah agar dapat tetap tinggal di pesantren ini," jawabnya membuatku terkesima, di pikiranku tiba-tiba tergambar sosok Ustadzah Lutfiah, wali kelas kami saat itu.

"Mengapa kamu menginginkannya?" tanyaku pelan.

Ia kembali terdiam dan membolak-balik catatan pelajarannya. Diam-diam aku mengulang kembali pertanyaanku di dalam hati.

"Mungkinkah aku bertanya tidak pada tempatnya?" pikirku.

"Papa dan mamaku telah lama bercerai."

Aku terkejut mendengar pernyataannya, tapi berusaha tenang menjadi pendengar yang baik. Pernyataan yang telah lama ditutupinya dari kami hingga kami mengerti alasan membukanya Icut jika ditanyakan perihal ayahnya.

"Papa menuduh Mama tidak bisa mengurus anak meski kini kakakku sudah menikah, ia tetap menjadi aib bagi papaku. Kakakku hamil di luar nikah. Sedang Mama menuduh Papa mencari-cari alasan untuk menyalahkan Mama demi menutupi perselingkuhannya dengan wanita lain."

Wajah Icut berubah sendu, air matanya meleleh begitu saja. Kami hanya terdiam tak tahu harus berkata apa sekarang. Aisyah menepuk pelan punggung Icut, berusaha menenangkan.

"Papa masih di Malaysia dan kabarnya sudah menikah lagi. Aku bangga pada Mama yang dengan tegar berusaha membimbing kami. Mama kini tinggal bersama kakak, adik, dan saudaraku di Aceh. Sedang aku akan melakukan hal terbaik di sini untuk menunjukkan kepada Papa bahwa mamaku tidak bersalah. Ia bisa mengutus anaknya hungga dapat menjsdikanku seorang ustadzah di sebuah pondok pesantren terbesar di kota ini," tekatnya sambil menangis tersedu-sedu di pundak Aisyah.

CAHAYA CINTA PESANTREN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang