Berpacu Dalam Mencari Ilmu (2)

4.2K 129 1
                                    

Perjuangan santriwati yang habis-habisan bertemankan buku kini harus dibuktikan. Ujian syafahi atau lisan kini telah dimulai.

Aku dan Manda mendapat jadwal hari pertama. Walau begitu, kami tak beruntung karena tak dapat satu ruangan uji yang sama.

"Assalamualaikum," salamku santai.

"Waalaikum salam! Ijlisiy (duduklah)...," jawab sang penguji, lalu mempersilakan aku duduk.

"Kam namratuki fi daftaril qaidi? (berapa nomer stambukmu?)"

Aku menjawab lancar dari awal hingga akhir pertanyaan.

Soal seputar hukum bahasa Arab pun telah kujawab dengan benar. Nasihat-nasihat dari 3 penguji, yakni 2 ustadzah dan 1 ukhti kakak kelasku pun dituturkan sebagai penutul ujian lisan.

Aku keluar dengan senyuman lega yang kemudian disambut berbagai pertanyaa. Tentang soal-soal penguji tadi oleh teman-temanku yang menunggu giliran di luar. Sambil membereskan buku yang baru kubaca. Aku menyebutkan soal yang dilontarkan kepadaku beserta jawaban yang benar setelah mereka puas bertanya, aku pun pergi ke ruangan tempat Manda akan diuji. Ia menadapatkab nomor urut paling bontot dan aku berjanji akan membantunya belajar dan memahaminya di depan ruangan hntuj menunggu giliran.

"Kaifa, Shil? Najahti?(Bagaimana, Shil? Sukses?)" tanya Manda menyambutku.

"Alhamdulillah," jawabku tersenyum.

"Sudah bisa kutebak, Shila pasti bisa. Shila kan genius!"

"Jangan berkata seperti itu. Terlalu berlebihan," jawabku kesal, aku memang tidak suka dibilang genius karena nyatanya aku pub belajar walau hanya baru tadi pagi.

"Iya deh, iya. Sekarang jelaskan aku judul muthala'ah!" tanyanya membuka halaman buku.

Teman-teman Manda yang juga peserta ujian syafahi di ruangan itu pun mendekat dan ikut melontarkan beberapa pertanyaan seputar pelajaran bahasa Arab, sharaf, nahwu, dan muthala'ah hingga aku tenggelam dalam pertanyaan mereka yang alhamdulillah bisa kujawab jelas dengan senang hati.

Akhirnya, Manda mendapat giliran masuk ruangan. Namun entah mengapa, pada saat Manda masuk ke ruangan itu untuk diuji malah jantungku yang berdetak sangat kencang. Aku sangat khawatir karena Manda pasti akan kesal dan kecewa jika akhirnya harus disuruh keluar seperti tahun-tahun sebelumnya untuk bertanya kepada teman-temanya. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Aku pasti akan sedih sekali.

Aku tahu betul perjuangannya menghadapi ujian. Dua puluh menit berlalu dengan perasaan was was fi hatiku. Keringatku mulai bercucuran karena gugup. Untungnya ada segerombolan PW atau Pasukan Wisadah (Pasukan Bantal)  yang sedikit menghiburku.

Pada masa ujian seperti ini, tidur di jam belajar hukumnya haram. Jika ketahuan maka nasibnya akan seperti segerombolan santriwati yang kini lewat dengan menjadi pusat perhatian penduduk pesantren. Bagaimana tidak, masing-masing dari mereka menggendong bantal dengan kain panjang, lalu memakai payung dan berjalan dengan meniupkan peluit. Karena jumlah mereka yang banyak maka dari kejauhan saja sudah terdengar sangat berisik.

Di menit ke-45, Manda keluar dengan tersenyum. Senyuman yang membuatku ingin melompat girang melepas kekhawatiran.

"Tidak sia-sia ya, Man!" kurangkul pundaknya sambil berjalan pulang.

"Iya benar, tapi tetap saja ada pertanyaan yang tidak bisa kujawab tiga soal pagi!" ujarnya sedikit ketus.

"Ah ... masa? Kenapa ...?" tanyaku penasaran.

"Kenapa? Maksud Shila kenapa aku tidak disuruh keluar?  Itu karena nomot urutku terakhir. Jadi, para penguji memberikan dispensasi. Mereka mungkin berpikir kepada siapa nanti aku akan bertanya jika teman yang lain sudah pulang. Untung mereka tidak tahu jika afa Shila di luar!" Wajahnya mengesal, bibirnya dimajukan, lalu tak berapa lama dimiringkannya.

"Ah ... bukan itu alasannya," potongku memburamkan perasaan kecewanya.

"Jadi apa?" tanya Manda penasaran.

"Itu karena para penguji senang dengan kamu. Sebab, kamu memberikan senyuman yang sangat manis kepada para penguji, mereka merasa tersanjung," pujiku tersenyum lebar.

"Hi ... hi ... iya ... ya! Mungkin juga, tadi aku memang tersenyum terus dengan mereka," jawabnya bersemangat.

Lega melihatnya tak ciut karena sobatku yang satu ini telah mengukir banyak kemajuan. Kali iki hanya 3 pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang pernah mencetak rekor gagal menjawab hingga 8 dari 12 pertanyaan.

"Huff!! Hari yang indah,"

Aku merangkul sahabatku itu menuju rayon. Ada dentuman kecil di kepalaku. Pusing dan sesekali terasa goyang. Tapi aku adalah santriwati hebat yang tak mungkin kalah dengab rasa sakit yang tak seberapa ini. Sebab, aku tahu siapa diriku.

CAHAYA CINTA PESANTREN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang