Ustadz Favorit (2)

7.1K 137 22
                                    

Di jam istirahat pertama ini aku menemani Ifadatun, ketua kelas kami, untuk mengambil kapur ke kantor KMI pusat yang berada di lokasi putra. Mimpi apa aku semalam hingga harus berpapasan dengan Abu Bakar. Ia tersenyum menunduk berjalan di depanku, tapi sesekalu mencuri pandangan. Itu membuatku merasa sedikit tidak nyaman. Meski begitu, aku ingin tersenyum geli melihat gayanya yang lugu.

"Ehm ... ehm .... Abu, ehm ... Abu ... ehm ...," Agri berdehem keras melirik kami yang kini berjalan di samping mereka. Abu tak sedikit pun menampik Agri. Hanya tersenyum malu.

"Kamu memang sudah jadian sama Abu, ya?" tanya Ifada menahan senyum.

"Apa-apaan, sih?" jawabku ketus.

Kapur telah kami ambil, tapi aku terus terpikirkan oleh sosok Abu. Kira-kira bagaimana caranya untuk menghilangkan rumor tentang hubungab kami. Sesungguhnya aku ingin sekali menjalin persahabatan dengannya tanpa harus ada embel-embel yang lain.

Menurutku, Abu Bakar adalah sosok santri yang sangat tampan. Meski prestasi belajarnya amat memprihatinkan, ia tetaplah sahabat seperjuanganku. Aku bisa saja berpura-pura tidak pernah membaca tumpukan surat cintanya kepadaku asalkan ia dapat bersikap biasa-biasa saja.

"Awas!" teriak Ifada menyentak jantungku. Sepeda motor batu itu hampir saja menabrakku. BK 2535 GK. Aku sempat membacanya dengan mata terbuka lebar.

"Kamu tidak apa-apa?"

Aku menggeleng dalam keadaan linglung. Ia turun dan mengutip beberapa kapur yang terjatuh dan aku masih dalam keadaan linglung.

"Lain kali jangan melamun ketika sedang berjalan!" katanya menatapku lekat.

Aku mengangguk dan tak dapat mengeluarkan sepatah-dua patah kata. Ia tersenyum lalu pergi dari hadapanku. Kutarik napas ini panjang, lalu kembali berjalan dengan hati yang berbunga-bunga. Aku tidak peduli dengan keadaan Ifada yang mungkin kebingungan melihat wajahku yang tetap cengar-cengir hingga ke dalam kelas.

"Shila kenapa?" tanya Manda yang datang ke kelas kami. Ifada menggeleng.

"Gak jelas tuh, aku malah takut melihatnnya begitu terus setelah hampir saja ditabrak Ustadz Rifqie al-Farisu," jelas Ifada menatapku lekat.

"Hmmmm ... jangan heran!" sahut Icut dengan raut wajah yang abai membuka kembali novelnya.

"Huu, kenapa tidak benar-benar ditabrak saja?" sorak Manda melempariku dengan remukan kertas.

Aku hanya tersenyum lebar. Ternyata mimpiku tadi malam tidak terlalu buruk. Sungguh beruntung diriku.

"Istigfar, Shil ... istigfar!" Sambung Aisyah menggoyang keras tubuhku. Aku menatapnya sinis dengan gigi yang merapat, tapi tak kunjung membuatnya takut. Biarlah .... mungkin wajahku terlalu cantik untuk dibuat seram.

♡♡♡

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CAHAYA CINTA PESANTREN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang