Ayah benar. Aku memang akan kerepotan kalau nekat berbelanja sendiri dan membawa si putih. Belanja bulanan kami sangat banyak. Mulai dari sabun, sampo, pembersih lantai sampai bumbu dapur. Buktinya, sekarang ini barang belanjaanku harus dimuat dalam tiga tas plastik besar. Itu belum termasuk camilan yang aku suka. Saat belanja bulanan seperti inilah aku baru bisa bebas memilih jajanan 'sampah' sesuka hatiku. Ayah benar-benar membatasiku untuk mengkonsumsi makanan ringan dalam kemasan seperti ini.
"Ayolah, Ben. Sebentar lagi masuk jam makan siang. Aku sudah lapar. Tidak bisa ya kamu jalan lebih cepat sedikit?"
"Mudah bagimu untuk bicara! Kamu tidak membawa tiga tas plastik besar di tanganmu."
Aku menoleh ke belakang. Ben masih tertinggal beberapa meter di belakangku.
"Oh ayolah, jangan berlebihan! Tiga plastik belanja itu pasti tidak terlalu berat." Kubawa tangan kiriku ke pinggang.
Ben mendengkus kemudian meletakkan tiga plastik yang tadi dibawanya ke lantai agak kasar. Beberapa orang yang lewat sempat melihat ke arahnya tapi dia tidak peduli. "Kalau kamu pikir ini ringan, kamu saja yang bawa!"
"Aku kan sudah membantumu," kataku lalu mengangkat tas plastik di tangan kananku.
"Plastik yang kamu bawa berisi camilan yang kebanyakan isinya hanya angin. Memang sudah seharusnya kamu yang bawa. Itu kan milikmu! Coba kamu bawa salah satu dari tiga plastik ini!" ujarnya sambil menunjuk ketiga plastik yang tadi ia letakkan di lantai.
"Tidak mau!" tolakku. Orang-orang yang lewat mulai memandang aneh ke arah kami. "Kata ayah, kamu diminta untuk menemani dan membawakan barang belanjaanku sampai apartemen."
Ben menyipitkan matanya padaku. "Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu bersedia menjadi kekasihku karena memang ingin menjadikanku kuli angkut dan sopir setiap kali mau belanja dan kemana-mana."
Aku tertawa. "Tentu saja. Kamu pikir apa lagi? Itulah gunanya punya kekasih." Aku kembali tertawa. "Ayolah, Ben. Kamu menghalangi jalan."
Ben mendengkus tapi tak urung ia memunguti ketiga tas plastik tadi dari lantai. "Untung kamu kekasihku."
Aku tersenyum lebar. "Terima kasih. Aku tahu aku cantik."
Lagi-lagi Ben mendengkus, aku tertawa. Aku menunggunya untuk menyusulku kemudian kami berjalan berdampingan keluar dari supermarket.
***"Ayahmu bisa marah besar padaku kalau tahu putrinya kuberi makan makanan sampah seperti ini."
"Jangan berlebihan, Ben. Ini hanya pizza dengan pepperoni dan ekstra keju. Apa yang salah dengan makanan yang enak ini?" Aku melahap potongan pizza dengan gigitan besar, membuat mulutku penuh.
Setelah belanja dari supermarket tadi aku dan Ben mencari makan. Aku bersikeras memintanya untuk menemaniku makan pizza. Jadi di sinilah kami sekarang. Duduk berdua dalam restauran cepat saji dengan satu loyang besar pizza pepperoni dengan ekstra keju.
Ben sedikit meringis melihat cara makanku. "Kamu bahkan bisa meminta ayahmu untuk membuatkan pizza. Dengan kualitas terbaik dan rasa bintang lima juga. Ayahmu seorang chef! Kenapa kamu malah memilih untuk makan di tempat seperti ini?"
Kuhabiskan potongan pizza dalam mulutku, meminum soda, baru aku membalas ucapan Ben. "Kamu tahu, kamu mulai terdengar seperti ayahku."
Kali ini Ben tidak membalas ucapanku. Ia mulai mengambil potongan pizza dan memakannya. Setelah ia menelan gigitan yang ke dua, Ben berucap, "so, Joshua?"
Gerakan mengunyahku langsung terhenti. Aku memperhatikan Ben. Dia terlihat santai. Tetap mengunyah seperti tidak ada yang salah dengan pertanyaannya.
"Kenapa dengan Joshua?" tanyaku. Kini aku mengunyah secara perlahan.
"Yang tadi itu Joshua kan? Joshua yang itu?" Ben meminum sodanya. "Jadi, apa sekarang aku punya saingan?" tanyanya tapi kemudian kembali makan seolah tidak memerlukan jawaban dariku.
Giliran aku yang terdiam. Aku tak lagi berselera dengan pizza yang ada di hadapanku. Aku justru menunduk dan diam-diam memperhatikan Ben.
Aditya Benjamin. Lelaki 30 tahun. Seorang pemilik cafe. Anak pertama dari dua bersaudara. Hobinya menyanyi dan bermain gitar atau alat musik lainnya. Seorang penikmat lagu-lagu milik Kerispatih. Pria dengan tinggi rata-rata, kulit coklat dan berbadan proposional. Tidak, dia tidak punya enam kotak di perutnya. Malah pipinya terkesan sedikit chubby menurutku. Oh dan tiap kali ia mengenakan kaus berkerah rendah seperti sekarang ini atau kemeja dengan dua kancing terbuka, aku bisa melihat tato mengitip dari celahnya. Seperti barisan huruf besar melintang di dadanya. Aku ingin tanya tapi tak berani. Ia punya kumis dan jambang di sepanjang rahangnya. Membuatnya terlihat dewasa. Just so you know, aku belum pernah melihatnya tanpa kumis dan jambang. Dia tidak tampan. Malah manis menggemaskan.
Aku mengenalnya sekitar satu tahun yang lalu. Waktu itu aku sedang menunggu Sandra di cafe miliknya. Dia melihatku dan langsung tertarik padaku, itu katanya. Jadi kami berkenalan, dekat dan akhirnya menjalin hubungan sejak tiga bulan lalu.
"Kenapa jadi diam? Sudah tidak lapar lagi? Atau ini karena si Joshua-Joshua itu?" Ben tersenyum geli di akhir kalimatnya. "Oh ayolah, aku tahu kisah kalian--kisah cintamu yang tak sampai lebih tepatnya." Ben tertawa. "Aku tahu dia beberapa tahun lebih muda dariku. Dia juga unggul selangkah karena aku tahu kamu masih menyimpan fotonya juga boneka wisuda bernama Kuku." Ben kembali tertawa. "Aku bahkan tidak mengerti mengapa kamu menamai boneka burung hantu dengan nama Kuku. Burung hantu itu bunyinya hoot-hoot. Kalau Kuku itu bukankah seperti bunyi burung di jam cookoo? Dasar aneh!"
Aku mencibir saat melihat Ben tertawa mengejekku. Namun tak lama kemudian aku ikut terkekeh bersamanya. Aku memang tak terlalu memikirkan hal itu. Waktu aku melihat boneka burung hantu yang diberikan Joshua, yang terlintas di benakku memang burung di jam cookoo.
"Memangnya kenapa kalau aku menamainya Kuku? Kalau nenurutmu aku aneh, kenapa kamu masih mau jadi kekasihku? Itu artinya kamu lebih aneh dariku."
"Hei, ayah dan opamu itu sangat kaya. Kalau nanti aku menikah denganmu, aku bisa ikut jadi kaya juga." Ben tertawa lebih keras. Hingga bahunya berguncang. Aku mencibirnya.
Aku tahu dia bercanda. Karena kenyataannya, keluarganya jauh lebih kaya dari keluarga ayahku. Ben juga bukan seseorang yang mengukur segala hal dengan uang. Namun, biar bagaimanapun juga satu kata yang tadi terlontar dari bibirnya membuatku menegang sesaat. Menikah. Ben benar-benar menyatakan keseriusannya dalam menjalin hubungan denganku. Dari awal dia mengenalku dia sudah memiliki pandangan ke depan bahwa hubungan kami pasti berakhir di pernikahan. Padahal aku sendiri masih ingin menikmati hidup. Menikmati masa mudaku.
Perlahan Ben menghentikan tawanya. Ia meletakkan pizzanya yang tinggal separuh. Kemudian raut wajahnya berubah serius. "Aku tidak tahu sedalam apa kamu menyukainya. Yang aku tahu kamu menyimpan foto dan barang pemberiannya. Mungkin menyimpan kenangan bersamanya di benakmu sana. Atau bahkan masih sedikit mengharapkannya. Tapi saat ini kamu adalah kekasihku. Aku mapan. Aku serius padamu. Aku juga mengantongi restu dari ayahmu." Ben mengambil jeda sejenak. "Dan yang paling penting, aku mau memperjuangkanmu. Itu membuatku berada jauh di depannya." Ben kembali diam. Aku juga. "Lagipula...aku ini jauh lebih tampan darinya. Mana mungkin kamu bisa menolak pesonaku ini." Ben meletakkan telunjuk dan ibu jarinya di bawah dagunya.
Aku berusaha diam tapi tak bisa menyembunyikan senyumku karena melihat tingkahnya yang penuh rasa percaya diri.
"Cinta itu butuh pengorbanan hati...Dan cinta tak butuh waktu yang sesaat...Jika kita percaya, cinta itu milik kita..."
Kali ini aku benar-benar tersenyum ketika Ben menyenandungkan lagu itu. Lirih, tapi cukup keras untukku dapat mendengarnya.
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Iliana's Lover [ON HOLD]
General FictionIliana tumbuh tanpa merasakan peran ayah di hidupnya. Pria itu menghilang begitu saja ketika ibunya hamil. Lalu muncul dan mengusik hidupnya ketika ibunya sekarat. Tiga tahun lalu Iliana baru bisa membuka hatinya untuk menerima ayahnya. Namun, Ilian...