My Lover-7

1.5K 144 2
                                    

Hariku dimulai seperti biasa. Aku sarapan bersama ayah di meja makan. Tak ada yang spesial. Kami makan sesekali mengobrol ringan. Kadang ayah juga menyinggungku soal keinginannya untuk menjadikanku penerus restoran miliknya. Aku tetap menolak. Ayah menerima tapi aku yakin ia akan membawa topik ini lain hari. Seperti biasa. Sudah kubilang bukan kalau ayah itu manipulatif. Ini adalah salah satu caranya. Dengan mengulang topik ini berkali-kali. Kapanpun ada kesempatan. Kemudian setelah sarapan, kami berangkat bekerja. Berpisah di basement, ayah pergi dengan mobilnya, aku pergi menggunakan si putih.

Membelah jalanan di pagi hari, saling berebut ruas dengan para pekerja lainnya, aku sesekali bersenandung kecil. Sekadar mengisi kebosanan di jalan. Dan aku baru menyadari ketika akan sampai di toko, kebanyakan lagu yang kunyanyikan adalah lagu-lagu milik Kerispatih. Lagu-lagu yang sering kudengar jika menaiki mobil Ben. Aku tertawa pelan saat menyadarinya.

Memakirkan motor di gang samping ruko, kuletakkan pula helm bogoku ke spion kanan motor. Kemudian aku berjalan ke arah toko sambil melepas jaketku.

Pintu masih tertutup rapat dengan papan bertuliskan 'closed' menggantung dari dalam. Vertical bilnd di jendelanya juga belum terbuka. Kumasukkan kunci ke dalam lubangnya lalu kuputar hingga terdengar bunyi 'klik' pelan. Saat kubuka pintunya, bersamaan dengan gemerincing lonceng terdengar di telingaku, semerbak wangi bunga menyapa indra penciumanku. Sosok Anita belum terlihat sejauh mataku memandang.

Kembali aku bersenandung kecil. Kali ini Lagu Rindu yang jadi pilihanku. Dengan jaket di tangan kiriku, tangan kananku terangkat membalik papan yang semula bertuliskan 'closed' menjadi 'Closed''. Kemudian aku berjalan ke jendela dan menarik tali vertical blind hingga sinar dari luar bisa masuk ke dalam.

Kemudian aku berjalan ke 'meja kerja' kami. Ini hanya meja biasa sebenarnya. Meja yang terbuat dari kayu dengan kalkulator dan beberapa buku besar di atasnya, berisi catatan stok bunga yang masuk dan yang akan habis, ada juga buku catatan pemasukan dan pengeluaran kami. Yap. Semua masih kami recap secara manual. Menurut Anita ini lebih praktis dan mudah diakses jika kami sewaktu-waktu membutuhkannya. Di dekatnya ada meja panjang tempat biasa aku atau Anita merangkai bunga.

Kuletakkan jaket dan tas selempangku ke atas meja. Kemudian aku berjalam kembali ke depan. Kukeluarkan satu-satu pot dan vas besar berisi bunga, kupajang di teras kecil depan toko kami. Saat aku kembali ke dalam untuk mengambil vas terakhir, sosok Anita keluar dari dapur. Ia tersenyum hangat padaku lalu mengambil celemek bertuliskan 'All in Bloom' di samping saklar lampu.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah orang dari tangga. Sosok Mario terlihat beberapa detik kemudian. Pria berkulit kuning langsat, yang tinggi, berambut hitam lurus dan berhidung mancung. Ia sudah rapi dengan kemeja lengan panjang berwarna toska dan celana bahan hitam yang sudah disetrika sampai licin. Pria inilah yang akhirnya dinikahi Anita dua tahun silam. Pria yang katanya sudah memendam perasaan begitu lama pada Anita. Aku tersanjung sekaligus merasa bersalah bahwa alasan Anita selama ini tak pernah menanggapi pria manapun yang medekatinya adalah karena aku.

"Pagi, Lana!" sapa Mario. Tangan kananya memegang tas kerja.

"Pagi, kak!" balasku. Lalu aku berjalan ke dekat rak bunga untuk mengambil sapu.

Mario ini 15 tahun lebih tua dariku. Wajar bukan aku memanggilnya kakak? Anitapun seharusnya kupanggil kakak tapi dia menolak. Padahal usia kami terpaut 10 tahun.

Sementara aku menyapu, dua sejoli yang dimabuk cinta itu melakukan rutinitas pagi mereka. Mereka berbincang sebentar, saling melontar kata-kata; 'hati-hati', 'jangan lupa makan', 'aku mencintaimu' dan sebagainya dan sebagainya. Oh dengan gestur yang mendukung juga. Intinya mereka sedang memamerkan kemesraan mereka.

Iliana's Lover [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang