Once Upon a Graduation Day

5.4K 327 3
                                    

Kupandangi lelaki dangan baju toga di dekat gedung auditorium tempat kami diwisuda beberapa menit yang lalu. Lelaki itu tengah berfoto bersama teman-temannya. Kudengar siang ini ia akan pergi. Merantau ke luar kota hendak mengejar karirnya sebagai wartawan.

"Ele?"

Aku menoleh. Mendapati seorang pria berbadan tinggi tegap dengan setelan jas hitam sudah berdiri di hadapanku. Ayahku. Bahkan setelah aku mengenakan wedges setinggi sepuluh sentipun aku masih setinggi telinganya.

"Ayah mau mengambil mobil, sebaiknya kamu tunggu di gerbang saja." ujarnya. Aku mengangguk. "Mau kubawakan?" Ia menunjuk barang-barang yang ada dalam dekapanku, yang mana kebanyakan adalah beberapa boneka dan buket bunga hadiah dari teman.

"Boleh kalau tidak merepotkan," jawabku.

Ia tersenyum. "Apapun untukmu, sayang." Kemudian ia mengambil alih semua barang yang tadi berada dalam dekapanku.

Saat ayahku sudah berlalu, aku menghampiri laki-laki yang tadi kuperhatikan. Aku berhenti beberapa meter dari tempatnya berdiri. Takut mengganggu kegiatannya yang sedang berfoto berbagai pose dengan teman-temannya. Aku menunggu. Menunggu hingga semua teman-temannya membiarkannya sendirian. Baru aku berani mendekatinya.

"Josh!" sapaku.

"Oh, hai, Lana!" ia balas sapaanku dengan senyum menawannya. Seolah tak pernah terjadi apapun di antara kami. Padahal selama satu semester terakhir ini dia seolah menjaga jarak dariku. Atau lebih tepatnya, dia dengan sengaja menghindariku. Semenjak kejadian itu...

Kami saling berjalan mendekat hingga menyisakan selangkah jarak di antara kami. Aku tak berani menatap matanya langsung. Jadi kuturunkan pandanganku. Menatap dekapannya yang terdapat boneka dan beberapa buket bunga yang hampir sama dengan punyaku tadi. Tak sebanyak boneka dan bunga milikku tadi memang. Toganya juga sama denganku. Bedanya ada samir yang melintang dari bahu kanan ke pinggang kirinya yang bertuliskan "CUMLAUDE". Kuberanikan diriku menatap wajahnya lagi.

"Selamat untuk predikat cumlaudenya," kataku mengawali pembicaraan. Ia tersenyum lalu menggumamkan kata terima kasih. Setelah itu kami diam. Mendadak aku jadi ragu. Namun tak lama, karena aku sudah membulatkan tekad. Kuhela napas panjang sebelum aku berdeham dan berkata, "ada yang ingin kukatakan padamu."

"Oh ya?" Joshua kembali tersenyum. "Apa?--ah, sebelum kamu bilang, bagaimana kalau kita berfoto dulu?"

Tanpa menunggu persetujuanku, Joshua sudah memanggil salah satu temannya. Namanya Romi kalau tidak salah. Dia memakai kemeja lengan pendek berwarna coklat, jeans hitam dan sepatu kets warna putih. Ada kamera mengalung di lehernya.

"Tolong fotokan kami ya, tuan fotografer?" pinta Joshua.

Romi mendengkus. "Mentang-mentang aku belum lulus kalian semena-mena padaku. Awas saja kalau setelah ini kalian tidak memberiku gaji dengan layak!" Laki-laki itu menggerutu tapi tak urung juga ia bersedia mengambil foto kami berdua.

"Tunggu dulu!" seru Joshua. Ia menoleh padaku. "Kenapa tanganmu kosong? Sebentar ya."

Kemudian Joshua pergi menghampiri penjual bunga dan boneka yang memang sudah biasa hadir di momen seperti ini.

"Untukmu," kata Joshua sambil menyerahkan setangkai mawar dan boneka berbentuk burung hantu berwarna coklat dengan gulungan dan topi wisuda. "Maaf ya bunganya hanya tinggal setangkai."

Aku bahkan tidak menyangka Joshua akan membelikanku boneka dan bunga. Padahal kan kalau hanya untuk kepentingan foto, ia bisa meminjamkan salah satu boneka dan buket bunga miliknya. Aku terus memandangnya. Joshua juga masih memandangku dengan senyum tipis di wajahnya.

"Oke, Romeo, jadi minta difoto tidak? Simpan dulu rayuanmu. Aku sibuk!"

Joshua menoleh pada Romi. Ia berdecak. "Sok sibuk sekali. Selesaikan skripsimu sana!"

"Sialan! Hei, gadis manis, kamu mau difoto tidak? Menghadap kemari!"

Mataku mengerjap beberapa kali. Aku langsung mengalihkan pandanganku, melihat ke arah kamera. Aku tersenyum sambil memamerkan bunga dan boneka yang tadi dibelikan Joshua. Bertepatan dengannya yang merangkul pundakku. Susah payah dia menjaga bunga dan bonekanya dalam satu dekapan tangannya. Dan kami difoto dengan pose itu.

Seusai mengambil foto, Romi pergi menghampiri gerombolan temannya yang lain. Kurasa dia memang sedang diperlakukan semena-mena.

"Oh ya, tadi kamu mau bilang apa?"

Aku mengembalikan atensiku pada Joshua. Berdeham satu kali sebagai usahaku mengumpulkan keberanian. "Mm...kudengar siang ini kamu akan pergi ke luar kota ya? Untuk bekerja sebagai wartawan?"

Joshua mengangguk. "Iya. Aku mendapat surat rekomendasi dari dosen pembimbingku langsung. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini," katanya mantap.

Aku tersenyum lalu mengangguk. Kemudian kembali diam. Aku kembali menghela napas dan memandang mata Joshua lekat-lekat. "Ada yang ingin kusampaikan padamu, Josh."

"Apa?"

"Aku...aku menyukaimu," kataku tanpa keraguan. "Sudah hampir setahun aku menganggumimu. Tapi lama kelamaan rasa kagumku berubah jadi rasa suka." Aku berkata dengan tenang. Padahal jantungku sudah berdetak dengan cepat. "Dan kurasa sekarang aku sudah ja-"

"Tunggu dulu, Lana! Jangan katakan!"

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Maaf tapi aku hanya berusaha mencegahmu supaya tidak mengatakan hal yang akan kamu sesali di kemudian hari."

Kernyitan di dahiku semakin dalam. "Maksudmu?"

Joshua menghela napas panjang sebelum berucap, "apa ayahmu tahu mengenai hal ini?"

"Ayahku?"

Joshua mengangguk. "Ayahmu. Pria yang waktu itu menjemputmu ketika kita berteduh di halte. Dia ayahmu kan?"

Aku tertegun. "Kamu...kamu tahu?"

Joshua tersenyum tipis. "Aku pernah bekerja padanya selama satu tahun. Dia bos yang baik, punya disiplin yang tinggi, tegas dan berwibawa. Kukira kesamaan nama kalian hanya kebetulan tapi melihat dia menjemputmu waktu di perpustakaan waktu itu...menunggumu di depan kos saat aku mengantarmu pulang waktu itu...dan memarahiku waktu aku tidak bisa memulangkanmu ketika hujan turun, aku jadi yakin dia adalah ayah yang kamu ceritakan dulu."

Mataku melebar mendengar penuturan Joshua. Kukira selama ini ia belum tahu. Terlebih Sandra sudah berjanji padaku kalau dia tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun.

"Jadi, apa ayahmu tahu mengenai hal ini? Dengan hal yang akan kamu katakan padaku ini?"

"Ak...aku tidak mengerti. Apa hubungannya ayahku dengan apa yang akan kukatakan?"

Joshua kembali menghela napas panjang. "Aku tidak masalah ketika orang-orang meremehkan aku. Bahkan aku tidak keberatan ketika Sandra mengataiku miskin. Tapi malam itu, ketika ayahmu memarahiku, itu menyadarkanku, Lana. Menyadarkan tentang posisiku. Meski ayahmu tidak mengatakan hal apapun yang bisa menyinggung perasaanku, dari tatapannya itu sudah cukup. Cukup untuk mempertegas bahwa kita dua orang yang berbeda.

"Maafkan aku, Lana. Kusarankan padamu untuk menyimpan kata-katamu tadi untuk orang yang sepadan denganmu, yang sepantaran denganmu. Simpan kata-katamu untuk orang yang tepat. Karena aku bukan orang yang tepat."

Aku terpaku di tempatku berdiri. Mematung mendengar ucapannya. Joshua bahkan sudah menolakku sebelum aku mengatakan peryataanku.

"Selamat tinggal, Lana." Dengan itu Joshua berlalu dari hadapanku. Pergi. Entah kemana. Pergi meninggalkan hatiku yang sudah hancur bahkan sebelum melambung tinggi.

🌸🌸🌸

Iliana's Lover [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang