Keesokan harinya ayah masih tak mendatangiku. Entah kalau ia menanyakan kabarku melalui Anita atau Ben. Yang kutahu aku semakin merasakan jarak itu kembali terbentang di antara aku dan ayah. Setiap jamnya aku merasa perlahan aku mulai kembali ke kehidupanku yang dulu...dulu sebelum ayah muncul dan menjungkir balikkan hidupku.
Aku baru saja selesai membantu seorang pelanggan memasukkan karangan bunga ke dalam mobilnya dan akan kembali masuk ke toko ketika sebuah motor berhenti di depan. Kali ini Joshua.
Ia mematikan motor dan mencabut kuncinya. Setelah itu ia melepas helmnya dan turun dari motor. Aku masih berdiri di ambang pintu ketika ia berjalan menghampiriku. Tak ada senyum yang biasa kulihat di wajahnya. Ia hanya terus mendekat hingga ia benar-beran di hadapanku. Tangan kirinya menarik lenganku ke samping ketika ada seorang pelanggan yang hendak keluar dari toko.
"Hai, Josh," sapaku basa-basi. Sejak kami batal pergi malam itu ia tak pernah lagi menghubungiku. Aku juga hanya satu kali mengirim pesan padanya. Kukatakan bahwa aku minta maaf karena sudah membatalkan janji kami. Setelah itu kami tak pernah berhubungan lagi. "Mau membeli bunga?"
Joshua menggeleng. "Aku mencarimu. Bisa kita pergi ke suatu tempat untuk mengobrol?"
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Kepalaku justru menoleh ke belakang. Melihat masih ada berapa orang lagi yang kira-kira butuh dilayani. Hari memang sudah sore, sudah mendekati jam tutup. Namun di dalam sana masih ada sekitar lima orang pelanggan.
"Kamu tak perlu buru-buru. Aku akan menunggu di sini," ucap Joshua membuatku kembali memandangnya.
Aku mengangguk dan masuk ke toko. Sekitar satu jam kemudian aku sudah selesai. Pelanggan terakhir sudah keluar. Aku menghampiri Anita dan mengatakan padanya bahwa aku akan pergi. Anita tak bertanya macam-macam. Entah kalau setelah itu ia melapor pada ayah.
Beberapa saat kemudian aku dan Joshua sudah melaju di jalanan. Ia menepikan motornya ketika kami tiba di alun-alun kota. Karena ini malam Minggu dan hari sudah hampir malam, tempat ini begitu ramai. Penjaja makanan bertebaran di mana-mana. Penyewaan mainan di buka di beberapa sudut. Hampir sama seperti pasar malam waktu itu. Hanya saja di sini tak ada bianglala besar.
Kami duduk di tempat duduk beton di pinggir lapangan. Aku hanya diam menunggu Joshua yang masih saja memandang lurus ke arah tiang bendera.
"Lana?"
"Ya?" Aku menoleh pada Joshua. Selisih tinggi kami membuatku sedikit mendongak. Wajah Joshua masih saja tak menampilkan ekspresi apapun. Matanya masih menatap lurus ke depan.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
Aku mengernyit merasa ada yang janggal. Maksudku, dengan wajah seserius itu kukira ia tak akan menanyakan hal remeh-temeh semacam itu.
"A...aku baik," jawabku.
Joshua hanya mengangguk pelan. Ia masih tak mau memandangku. Setelah itu kami kembali terdiam. Begitu kontras dengan keramaian yang ada di sekitar kami. Bahkan ketika langit menggelap, lampu-lampu dinyalakan dan teriakan juga sirine permainan terdengar dari berbagai arah, Joshua masih bungkam.
"Apa hanya itu yang ingin kamu katakan?" tanyaku ketika kurasa cukup kesunyian di antara kami.
Kali ini senyum terbit di wajah Joshua. Namun, aku merasa janggal dengan senyum itu. Senyum itu terulas tanpa mencapai matanya yang kali ini berbingkai kacamata berbingkai bulat.
Perlahan Joshua menolehkan kepalanya menghadapku. Ia menunduk dan membalas tatapanku. Masih dengan senyum yang janggal.
"Kamu mau mendengar hal gila dariku, Lana?" tanyanya begitu pelan. Hampir tak tertangkap telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iliana's Lover [ON HOLD]
General FictionIliana tumbuh tanpa merasakan peran ayah di hidupnya. Pria itu menghilang begitu saja ketika ibunya hamil. Lalu muncul dan mengusik hidupnya ketika ibunya sekarat. Tiga tahun lalu Iliana baru bisa membuka hatinya untuk menerima ayahnya. Namun, Ilian...