Jam menunjukkan pukul sembilan pagi waktu Diana dan ayah bersiap untuk pergi. Ada koper di tangan ayah. Sesuai dugaanku, mereka tak akan pulang hari ini. Sesuai juga dengan dugaanku, mereka akan menginap. Entah di hotel atau vila. Mungkin dugaanku bahwa mereka akan pulang dengan membawa janin baru di rahim Diana juga benar.
"Lana, aku titip Denis padamu ya," ucap Diana yang berdiri di samping ayah. Ada Denis berdiri di sampingnya juga.
Aku tak mempedulikannya. Mataku menatap lurus layar televisi yang menampilkan acara kuliner kesukaan Ben.
"Ele!" desis ayah. Aku hanya meliriknya sejenak. Sangat terlihat ayah begitu marah padaku.
"Tak apa," ucap Diana pada ayah. Aku tak mampu menahan diri untuk mendengkus. Terlebih melihat tingkah sok manisnya yang berusaha memegang lengan ayahku. Sok sekali dia ingin berpura-pura menenangkan ayah. Ingin muntah rasanya!
Aku mematikan televisi lalu berdiri. "Sudah selesai ramah-tamahnya? Kalau sudah, aku mau ke kamar." Dengan berani aku menatap ayah dan Diana. Lalu aku beralih menatap Denis. "Kamu, jangan hancurkan tempat ini!"
"Ele!"
"Ardham, sudah tak apa," kata Diana sambil sekali lagi mengusap lengan ayah.
Uurrggghhh! Menjijikkan. Aku langsung mengangkat kakiku, beranjak pergi dari sana.
***
Berjam-jam lamanya aku berkutat dengan laptopku di kamar. Hingga akhirnya aku merasakan ada kejanggalan. Ini terlalu sunyi. Keheningan jika dirimu memang sendirian itu artinya bagus. Semua berjalan normal dan lancar. It's a bliss. Namun keheningan di saat ada seorang anak bersamamu, itu artinya bencana!
Aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang tengah. Televisi dalam keadaan mati. Tak ada siapapun di sana. Begitu pula di dapur ataupun kamar mandi. Jejak anak ingusan tadi juga tak terlihat. Kupikir aku mimpi jika bukan karena melihat mainan lego miliknya di sofa ruang tengah.
Di saat aku mencari anak itu, aku bersumpah mendengar suara kucing datang dari kamar ayah. Maka dari itu aku berjalan ke sana. Waktu pintunya kubuka, aku terkejut bukan main mendapati Denis ada di sana. Di atas ranjang ayah. Dengan seekor kucing anggora. Kucing milik Nyonya Doris!
"Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Denis hanya memandangku sambil tersenyum. Ia lantas turun dari ranjang dan berlari melewatiku. Aku tak sempat mengejarnya karena ia sudah terburu hilang dari pandanganku.
Aku bergegas menghampiri ranjang ayah dan menggendong kucing yang kuketahui pemiliknya sangat galak. Aku menggendongnya dan berniat segera memulangkannya. Tertulis nama Kitty di bandul kalungnya.
"Bagaimana kamu bisa masuk kemari?" gumamku.
Waktu aku keluar dari kamar ayah, Denis sudah tak terlihat lagi. Entah kemana ia pergi. Mungkin keluar, karena kulihat pintu depan terbuka. Aku berjalan ke sana dan keluar dari unit apartemen.
"Nah itu dia kucingmu, Nyonya."
Aku menoleh ke samping. Denis sudah berdiri beberapa meter di kiriku bersama tetangga apartemenku. Nyonya Doris. Wanita di akhir lima puluh tahunan yang tinggal sendiri.
"Aku sudah mengatakan bahwa mungkin saja kamu mencarinya, Nyonya. Tapi Lana tak percaya padaku. Dia bilang biarkan saja Kitty di sana untuk beberapa saat."
Mataku sukses membulat karena ucapan Denis. Engsel rahangku seperti lepas, membuat mulutku terbuka lebar.
"Buk-" Belum sempat aku menyanggah kebohongan Denis, Nyonya Doris sudah menghampiriku dan menarik telinga kiriku. Aku sampai membungkuk karena tinggi Nyonya Doris hanya sampai pundakku. "Sakit sakit sakit! Bukan aku yang membawa Kitty kemari. AW! Ia ada bersama Denis dari tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iliana's Lover [ON HOLD]
General FictionIliana tumbuh tanpa merasakan peran ayah di hidupnya. Pria itu menghilang begitu saja ketika ibunya hamil. Lalu muncul dan mengusik hidupnya ketika ibunya sekarat. Tiga tahun lalu Iliana baru bisa membuka hatinya untuk menerima ayahnya. Namun, Ilian...