Selama kami menonton film, Ben jadi semakin diam. Meski gerak-geriknya terlihat biasa saja tapi sikapnya seperti sedikit menjaga jarak dariku. Aku bahkan tidak tahu kesalahanku apa.
"Ben, kamu marah padaku ya?" tanyaku hati-hati. Aku duduk bersila di atas sofa. Separuh sisa spaghettiku masih ada di atas pangkuanku. Entahlah aku jadi tidak terlalu berselera jika Ben seperti ini.
"Tidak," jawab Ben tanpa memandangku. Ia kembali menggigit pizza di tangannya.
"Kamu boleh pergi dari sini kalau merasa tidak nyaman. Aku janji tak akan keluar dari sini."
Ben mengembuskan napas secara perlahan. Ia letakkan pizza di tangannya ke atas karton. Akhirnya ia mau memandangku juga setelah setengah jam lebih fokus pada layar televisi.
"Aku tidak marah padamu." Ben meyakinkanku dengan mengulas senyum di wajahnya.
"Tapi kamu jadi diam. Kamu seperti menjaga jarak dariku."
Ben tertawa pelan. "Sudahlah. Aku tidak marah padamu. Kamu mau kita sedekat apa?" Kemudian ia menggeser duduknya mendekat padaku. "Sedekat ini?" Kembali ia menggeser lebih dekat hingga lengan kami bersentuhan. "Atau sedekat ini?"
Aku hanya bisa diam seperti orang bodoh. Padahal aku merasa ada sesuatu yang beda dari Ben. Biarpun dia tersenyum, aku yakin ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ada sesuatu yang asing di matanya.
Tanpa kuduga, Ben dengan perlahan mengurungku dalam tangannya. Tangan kirinya menumpu di sandaran sofa. Tangan kanannya menumpu di lengan sofa. Ia memenjarakanku dengan tubuhnya. Semakin dekatnya jarak wajah kami membuatku mundur hingga kepalaku menyentuh sandaran sofa, tepat di samping tangan Ben.
Mata kami saling memandang. Wajah kami begitu dekat. Napas kami saling bersahutan.
"Aku tidak keberatan kalau harus sedekat ini denganmu," bisik Ben. Kemudian matanya menatap lekat mataku. Perlahan pandangannya turun ke bibirku. Kembali ke mata. Kemudian menatap lama bibirku.
Tiba-tiba ia menarik dirinya menjauh. Ia sandarkan tubuhnya di sofa. Matanya lurus menatap televisi. Seusai menghela napas panjang berulang kali, baru ia menatapku.
"Tapi kalau sampai ayahmu tiba-tiba pulang dan mendapati kita dalam posisi seperti tadi, kepalaku bisa dipenggalnya."
Lagi-lagi aku hanya bisa diam seperti orang bodoh. Mengerjap-ngerjap sambil memproses semua yang baru saja terjadi. Sebentar ia diam. Lalu bertingkah jail. Tiba-tiba berbuat sesuatu yang membuat jantungku berdebar kencang. Detik berikutnya ia menarik diri sambil berkata bahwa ayahku bisa saja memenggal kepalanya.
"Sudah habiskan saja makananmu." Ben mengambil kaleng soda di hadapannya kemudian meneguknya hingga tandas.
Walau aku masih berusaha menelaah sikap Ben barusan, aku juga tak ingin terlalu pusing dibuatnya. Jadi, perlahan, setelah debaran jantungku normal kembali, aku mulai menyuap sisa spaghetti milikku.
"Kamu kemarin pergi kemana?" tanya Ben sambil kembali memakan sisa pizzanya tadi.
"Hm?"
"Kemarin siang aku pergi ke toko, aku mau mengajakmu makan siang tapi Anita bilang kamu keluar."
"Oh." Susah payah aku berupaya menelan kunyahan pasta dalam mulutku ini. "Aku..."
Jantungku kembali berpacu tak normal. Aku jadi gugup. Berbeda dengan Ben yang tampak santai makan sambil sesekali matanya melirik ke layar televisi.
Haruskah aku berkata yang sebenarnya? Bahwa aku pergi dengan Joshua tanpa seizinnya?
"Mm...aku...pergi makan siang," jawabku akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iliana's Lover [ON HOLD]
Ficción GeneralIliana tumbuh tanpa merasakan peran ayah di hidupnya. Pria itu menghilang begitu saja ketika ibunya hamil. Lalu muncul dan mengusik hidupnya ketika ibunya sekarat. Tiga tahun lalu Iliana baru bisa membuka hatinya untuk menerima ayahnya. Namun, Ilian...