Hari berganti hari. Tak ada yang spesial setelah makan malam waktu itu. Aku juga masih tinggal seatap dengan ayah. Seatap tapi selalu berusaha menghindarinya. Katakan saja aku merajuk. Masa bodoh.
Hubunganku dengan Ben...baik-baik saja? Atau aku saja yang mungkin merasa demikian. Buktinya Ben sekarang mengajakku bertemu setelah aku tutup toko hari ini. Ia merasa ada hal yang perlu dibicarakan. Padahal tiap hari kami masih berkirim pesan. Masih sering telepon atau melakukan video call--meski Ben yang selalu berinisiatif lebih dulu.
"Sudah lama menunggu?"
Aku mendongak dari ponsel, mendapati Ben berdiri di hadapanku. Ia kemudian duduk bersila di depanku. Ada meja pendek persegi di antara kami. Ini rumah makan favorit Ben. Terletak di perbatasan kota tapi menyediakan menu ikan tambak dan seafood. Ben memang pecinta menu ikan, dari bakar, tumis, goreng, sayur semua dia suka.
Aku hanya menggeleng.
"Sudah pesan?"
Aku kembali menggeleng. Kemudian Ben bangkit berdiri lalu memukul kentongan yang digantung di bagian depan gazebo. Rumah makan ini memang unik. Disediakan beberapa gazebo untuk pelanggan yang datang dengan jumlah kecil. Ada juga aula untuk acara-acara besar atau pelanggan dalam jumlah banyak. Semuanya terbuat dari bambu. Tempatnya sejuk. Banyak pepohonan dan ada taman bermain. Bahkan ada beberapa kolam berisi nila di tengah-tengah area rumah makan.
Beberapa saat kemudian pelayan datang dan mencatat pesanan kami. Selalu ada nila bakar dan es kelapa muda tiap kali Ben memesan.
"So, how was your day?" Ben bertanya setelah pelayan pergi.
Aku mengedikkan bahu. "Seperti biasa. Melayani pelanggan, mencatat ini dan itu. Same old."
Ben mengangguk lalu mulai bercerita tentang kegiatannya seharian ini. Dengan antusias ia bercerita bahwa hari ini dia berhasil mendapatkan biji kopi kualitas tinggi dengan harga miring. Jujur saja, aku tidak paham dia bicara apa. Aku tak suka kopi. Jika pergi ke cafe, aku selalu pesan hot chocolate dan dessert.
Ben terus bercerita. Sempat berhenti saat pelayan meletakkan pesanan kami. Selebihnya kami makan sambil mengobrol. Ben yang lebih banyak bicara. Aku hanya merespon seperlunya. Kalaupun harus bergiliran bercerita, kukatakan secara singkat. Entahlah. Aku merasa kali ini aku terlalu malas untuk menanggapi Ben. Padahal biasanya aku juga sama cerewetnya dengan dia. Atau kalaupun aku diam, pasti mendengarkan dengan antusias. Namun kini? Kini aku seperti malas saja mendengarnya. Bahkan aku sudah lupa apa yang ia ceritakan sepuluh menit lalu.
"Kamu bilang ada yang ingin dibicarakan." Aku memotong ucapan Ben tentang...entah apa. Mulai bosan saja.
"Sebentar lagi. Aku benar-benar lapar." Kemudian Ben mengambil irisan cumi goreng tepung di pirignya.
Sudah sebakul kecil nasi ia habiskan. Seekor nila bakar, tumis kangkung dan udang asam manis sudah masuk pula dalam perutnya. Es kelapa mudanya juga sudah berkurang banyak.
"Kamu makan seperti gelandangan. Seberapa besar perutmu sebenarnya?" gerutuku setelah menyesap es jeruk.
Ben tertawa tanpa membalas ucapanku. Ia kembali sibuk dengan cuminya. Setelah selesai, ia beralih pada es kelapa mudanya. Saat daging kelapanya sudah habis, Ben menegakkan tubuh lalu bersendawa dengan keras sambil mengusap perutnya.
"Jorok!" seruku lalu melempar sedotan padanya.
Ben tertawa. "Dari pagi aku belum makan apapun. Hanya segelas susu yang kuminum tadi pagi. Siang juga aku tidak sempat makan. Inipun aku rasa aku bisa menghabiskan sepiring atau dua piring cumi goreng tepung lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iliana's Lover [ON HOLD]
Fiction généraleIliana tumbuh tanpa merasakan peran ayah di hidupnya. Pria itu menghilang begitu saja ketika ibunya hamil. Lalu muncul dan mengusik hidupnya ketika ibunya sekarat. Tiga tahun lalu Iliana baru bisa membuka hatinya untuk menerima ayahnya. Namun, Ilian...