♡34

1.3K 244 12
                                        

Waktu Daniel pulang, aku baru aja selesai nyuci piring. Iya, aku masih izin sakit. Daniel engga ngebolehin aku masuk dulu sebelum aku bener-bener pulih.





Dia langsung memeluk tubuhku dari belakang waktu aku lagi ngelap tangan yang basah. Wajahnya ditenggelamkan di bahuku. Dan aku hanya bisa mendengar derikan napasnya aja.





"Cape ya Mas?"





"Hmm." Dia cuma gumam ga jelas. Ga tau deh beneran cape apa gimana.






"Mau aku pijitin?"






Dia meletakkan dagunya di bahuku dan memelukku lebih erat.






"Kangen," jawabnya selintas yang membuat bibirku merekah. "Seneng rasanya pulang kerja disambut sama istri."






"Hadeh. Apaan sih."





Dia ngecup pipiku pelan. "Pengen gini terus."




Perlahan aku membalikkan badan dan langsung mengalungkan tangan di lehernya. Daniel keliatan cape banget meskipun dia bohong.




"Hana," panggilnya.





"Hmm."




"Di rumah aja ya?"




Aku mengerutkan dahi, "Memangnya malam ini aku minta keluar rumah?"




Dia tersenyum tipis. "Kamu di rumah aja. Tiap malam nyambut aku pulang, tiap pagi nganterin aku di depan pintu sambil nyemangatin kerja. Masak masakan yang enak tiap aku pulang kerja. Jadi ratunya aku di rumah."





Yang bisa aku lakukan cuma menelan kasar ludahku. "Masㅡnyuruh aku berhenti kerja?"






Aku natap matanya, berusaha nyari jawaban dari tatapan matanya. Tapi yang aku dapat hanyalah sebuah tatapan putus asa.




"Mas mohon sama kamu, Han." Entah kenapa suara yang keluar dari mulutnya bikin perasaanku makin kacau saja.






Jujur, kuliah di geodesi itu jauh lebih susah daripada tinggal di hutan sebulan. Dan aku mati-matian buat jadi sarjana teknik dan banyak biaya habis demi kuliah disitu. Dan baru aja suami aku minta aku berhenti kerja dari apa yang susah aku dapetin?







"Mas ... tapi aku ga bisa ngelepasin apa yang susah aku dapetin."






"Mas tau, Han."






Oh tunggu. Jangan bilang dia berpikiran aku bisa istirahat di rumah dan ini salah satu rencana supaya aku bisa hamil?






"Han, Mas pengen sekali punya anak."








Oke. Kali ini aku benci tatapan sendu Daniel yang memohon kepadaku. Memangnya dia pikir aku engga mau?






"Tapi dengan cara ngelepasin kerjaan aku Mas?"







Daniel menghembuskan napasnya panjang lalu menangkup kedua pipiku. "Kita harus ngerelain apa yang kita punya hilang demi sesuatu yang kita inginkan kan?"






"Mas tapi aku masih pengen kerja. Ini ga sekedar ngebantuin ekonomi rumah, tapi ini tentang kerja keras aku ngedapetin kerjaan yang ga mungkin aku lepasin gitu aja."






"Mas tau kamu bakal jawab gini. Tapi Mas mohon. Mohon, Han."









Dan berujung dia bersimpuh di depanku. Benar-benar duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala. Tangannya dikepal dan diletakkan di permukaan pahanya.






"Mas cuma minta itu sama kamu, Han. Mohon sekali."






Aku menariknya. "Mas apaan sih ga perlu berlebihan kaya gini."





Dia berdiri di depanku. Aku menarik wajahnya. Air matanya ternyata udah turun dari tadi. Ngeliat dia kaya gini entah kenapa ngebuat aku makin sedih dan putus asa. Tanganku perlahan menepikan air matanya.







"Mas, aku juga pengen punya anak. Tapi kita masih jauh dari usaha maksimal yang bisa kita lakukan. Mas jangan putus asa, aku seharusnya juga ga boleh putus asa.

"Mungkin ini emang belum waktu untuk kita, mungkin Tuhan nyuruh kita lebih sabar, mungkin Tuhan ngasih waktu ekstra buat kita berduaan dan ga luput dari usaha dan doa, mungkin Tuhan nyiapin hal kecil untuk kita berdua. Entahlah itu cuma Tuhan yang tau, Mas.

"Sejujurnya aku gak mau berhenti kerja gitu aja Mas. Di rumah seharian nungguin Mas pulang berjuta kali lipat rasa depresi aku datang. Aku kerap bertanya kenapa aku masih belum bisa hamil juga. Aku kerap merutuki diri sendiri kenapa belum bisa jadi istri yang terbaik buat Mas.

"Mungkin kalau cuti untuk beberapa saat masih bisa aku pertimbangkan, Mas. Tapi kalau berhenti, aku juga akan bersimpuh di depan Mas seperti tadi untuk bilang aku ga mau berhenti gitu aja."







Aku mengelus pipinya pelan. Mungkin Daniel lagi cape jadi pikirannya ga terlalu bisa berpikir dengan baik.






"Kita pasti bisa lewatin ini, Mas. Ini hanya belum waktunya aja."





Dia tersenyum kembali setelah aku mengatakan hal itu. Lalu mengecup bibirku pelan.




"Kalau kamu memang mau cuti, berarti kita bisa merencanakan bulan madu yang engga pernah kita realisasikan kan?"

DEJA VU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang