Apakah kalian tahu bagaimana rasanya hidup di antara tiga laki-laki? Ayah yang super sibuk. Kakak yang menyebalkan dan adik yang sangat bandel. Bahkan dia sama sekali tak mengindahkan perkataanku. Hiks.
Setelah Ayah pensiun menjadi pemain sepak bola, ia fokus pada usaha keluarga. Mungkin kalian mengenal Ayahku. Tuan Bambang Pamungkas. Seorang laki-laki yang memasuki usia 50 tahunnya. Dengan tiga anak tidak begitu terekspos--Ayah memang melindungi kami. Agar kami bisa hidup dan belajar dengan tenang tanpa diganggu--media.
Kakakku yang baru dua tahun ini masuk kuliah, Kak Satria Tama. Si over protektif. Yang setiap harinya seperti wartawan. Dia selalu menanyaiku aku pergi dengan siapa, pulang dengan siapa. Yang hobinya mengacak-acak rambut, ketika aku marah. Atau ngetekin dengan semena-mena. Mentang-mentang dirinya yang tinggi.
Adikku si Saghara. Ghara yang menyebalkan. Bandel dan selalu bertengkar denganku. Jika sudah begitu, Kak Satria-lah yang memisahkan kami.
Hari ini, aku baru saja keluar dari kerajaanku. Tentu saja. Tidak ada tempat yang lebih istimewa dan layak untuk disebut kerajaan selain kamar. Setelah mengusap iler dan keluar menuju kulkas untuk mengambil jus jeruk. Menikmati setiap teguknya sampai-sampai aku menyadari sesuatu.
Uhuk!
Aku hampir saja menyemburkan seluruh isi mulutku begitu menyadari jam sudah menunjukkan pukul tujuh.Aaaarghh!!
Aku berlari kalang kabut. Masuk ke kamar mandi. Menggelung rambut, cuci muka, sikat gigi, pasang seragam, segera menghadap teman terbaikku. Kaca.
Buru-buru memasang make up sebisanya. Sebelum waktu membunuhku.
Menyeret tas. Berjalan sambil pasang kaus kaki dan sepatu sampai kesandung-sandung. Tapi begitu berada di tangga, kudengar suara tawa seseorang menggelegar.
"Ahahahahahahahaha!" Ghara yang masih mengenakan piyama, menunjuk-nunjukku.
"Pasti nggak mandi, ya? Dasar jorok!" Ia terkekeh geli. Kulihat jam di ruang tengah. Bukan lagi di tempat tidur yang tadi. Hah? Masih setengah lima?
"Gharaaa! Pasti kamu yang ngerjain, kan? Kamu yang muter jamnya lebih cepet?"
"Iya! Rasain, wek!" Dia meleletkan lidah. Aku menggeram geregetan. Meremat tangan. Dasar anak nakal!
"Jangan lari kamu, ya! Jangan lari!" Kulempar ia dengan sepatuku. Ghara lari sambil teriak-teriak minta tolong. Kami berputar-putar di meja makan. Sampai kurasa, aw! Kakiku kepentok kaki kursi. Ghara tersenyum meledek. Bocah itu, kini masuk ke kamar Kak Satria yang tidak dikunci. Kak Satria yang mendengkur dengan hanya mengenakan boxer menjerit.
"Arrghh!" Tangannya keinjak. Jangan salahkan aku! Salahkan Ghara. Meski aku yang menginjak. Tapi dia yang bikin ulah.
"Kakak tolong! Kak Alenta kumat!" Ia mengoyak-ngoyak tubuh Kak Satria. Tapi dasar Kak Sat. Setelah dia menjerit, eh merem lagi.
"Aku akan memasungmu hari ini! Bersiap-siaplah!" Ghara menendang-nendangku. Tapi aku tidak akan terkalahkan. Aku tersenyum keji. Sampai anak itu ketakutan saat aku menjepit kepalanya dengan ketiak. Ini cara terampuh yang dilakukan Kak Satria untuk melumpuhkan adik-adiknya.
"Arrghh! Ampun! Ampun, Kak!" Setelah dia nyembah-nyembah baru kulepaskan. Ghara kabur kalang kabut ke kamarnya.
"Dasar, bau!" cercanya. Tapi aku puas saat melihat Ghara menahan muntah.
Aku kembali ke kamar. Mengganti seragam dengan baju tidur yang tadi. Mengempaskan tubuh ke ranjang. Masih lama, kok. Masih ada waktu untuk tidur. Mungkin satu jam.
Baru saja aku merasai nyamannya kasurku. Tiba-tiba suara bel berbunyi.
"Gharaaa! Nggak usah mainan deh! Aku tau, kamu lagi ngerjain, kan?" Suara bel ditekan terus menerus. Sampai aku merasa bising sendiri. Dengan langkah menyeret aku beranjak.
"Lagian Bibi ke mana, sih? Masa ada tamu jam segini nggak dibukain!" Menyebalkan. Mana pagi-pagi amat lagi. Setengah sadar kubuka pintu, yang seketika membuatku teriak.
"Aaarghh!" Laki-laki itu ikut teriak kebingungan. Kututup pintu, menyentuh jantung. Hampir saja copot.
Itu kan Kak Hans? Hansamu Yama Pranata? Temennya Kak Sat? Aduh kenapa harus datang sepagi ini, sih? Mana aku lagi kucel, kumel, dekil lagi.
Segera kurapikan rambut, sebelum membuka pintu kembali.
"Ada apa?" Wajahnya yang tampak suram sekarang ditambah cemas. Celingukan seolah takut ada apa-apa.
"Kamu nggak apa-apa, kan, Ta?" Aku berusaha menahan napas saat matanya menatapku.
"Engg ... gak!" Aku menggeleng kaku.
"Tadi teriak kenapa?" Karena syock, lihat Kak Hans. Hehe.
"Tadi ... ehm. Ada kecoa di kaki!" Aku menunjuk sembarang.
"Sekarang kecoanya masih ada?"
Aku menggeleng cepat.
"Oh, ya udah."
"Kakak mau apa pagi-pagi ke sini?"
Wajahnya kembali suram. Ditatap begitu, aku diam-diam merasa merinding. Ada hawa mencekam melingkupi dirinya.
NEXT
KAMU SEDANG MEMBACA
Parcel Boneka Berdarah
Teen Fiction-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan.- Ada sepuluh nyawa. Ada sepuluh boneka ayam. Ada sepuluh lagu kematian. Alenta dan teman-teman berusaha mengungkap kasus pembunuhan anak-anak senat di...