ALENTA NGAMBEK

73 7 0
                                    

"Ta!" Ryuji terus mengikutiku, aku tak peduli.

"Tunggu!" Kudengar suara langkahnya lebih cepat. Aku setengah berlari.

"Ta, awas!" Ryuji berteriak. Hampir saja sebuah motor menabrakku saat aku menyeberang terburu. Aku terus berjalan tanpa menoleh.

Langkahku berbelok ke taman kota. Ryuji masih terus mengikutiku dan meminta berhenti. Sampai kurasa sebuah cekalan di tangan.

"Ta, kamu kenapa?" Aku menepis tangannya. Tapi cekalannya jauh lebih kuat sampai bisa membalikkan tubuhku.

"Kamu nangis?" Aku berusaha menyembunyikan wajahku. Tapi dia malah menarikku ke dalam pelukannya.

"Ta, jangan kayak gini. Aku bingung. Kamu diem aja," suaranya terdengar khawatir. Bodoh! Benar-benar tidak peka. Aku mendorongnya tapi dia lebih kuat.

"Oke. Aku minta maaf. Ini pasti soal Marissa. Aku dan dia hanya teman."

"Hanya?"

Dia mengangguk. "Itu sudah biasa di antara kami. Bahkan sering?"

Kali ini aku mendongak menatap wajahnya. "Sering?" Aku syock. "Jadi selama ini?"

"Mulai sekarang janji. Enggak lagi."

"Heh! Yakin? Kupikir tidak ada laki-laki yang tak suka dengannya!" sinisku. Ryuji menggeleng.

"Buktinya aku nggak."

"Enggaknya di mulut doang. Mana ada kucing nolak kalo disodorin ikan? Apalagi ikannya seksi."

Ryuji mengernyit.

"Filosofi macam apa itu? Emang ada ikan seksi?" Ia seperti menahan tawa.

"Ya kali!" sungutku.

"Tolong! Jangan seperti ini lagi. Aku dan dia bener cuma temen." Ryuji menarik kepalaku, membenturkan pada rusuknya. Dan aku benar-benar tidak bisa menahan isakku. Mengapa semuanya terasa begitu sakit?

"Lagian dia kekasih sepupuku. Mana mungkin aku nikung?" celetuknya. Bahkan aku sampai lupa kalau Marissa menjalin hubungan dengan Kak Hans.

"Siapa tau?" timpalku.

"Ssst! Nggak usah jawab lagi. Kesel dengernya."

"Emang Kakak pikir aku enggak? Liat orang suap-suapan. Mesra-mesraan depan mata?" Aku tak mau kalah.

Dia menangkup kedua pipiku dengan kedua telapaknya yang lebar dan hangat. Membuatku menatapnya.

"Jawab mulu, sih! Jadi gemes pengen ...." Dia menurunkan wajahnya lebih dekat.

"Golden rules!" tukasku.

"Yee, Ge-Er. Memangnya siapa mau cium? Wek!" Dia meleletkan lidah, terkekeh. Membenturkan keningnya ke kepalaku. Sialan! Aku dikerjain.

Aku mendorongnya. Kali ini dia melepaskanku.

"Aku mau cerita tentang Marissa. Tapi, janji dulu. Simpan tenaga dalammu," pintanya menatap was-was.

"Tergantung," jawabku tak acuh. Duduk di bangku panjang. Dia mengikutiku. "Siapa suruh bilang suka yang ganas dan berani."

"Hmm ... Terus maunya aku bilang apa, Dear? Emang itu kok alasan sebenarnya."

Kuputar bola mata jengah. Tidak ingin menyahutinya.

"Cantik, seksi, putih, imut?" Dia mengangkat sebelah alisnya. Aku membuang muka.

"Ya ampun. Polos banget, sih! Bener-bener bikin gemes. Sayang, gini. Emang kamu mau aku bilang kayak gitu?"

"Enggak. Karena itu cuma bohong," ketusku. Ryuji tersenyum.

"Apa penampilan segitu penting untuk perempuan? Jadi kamu mau alasanku menyukaimu, hanya fisik doang?" Kali ini aku terdiam. Dia menggeleng.

"Mungkin menurutmu ini cuma membual. Omong kosong. Tapi aku bukan yang seperti itu. Cuma liat ikan seksi, langsung luluh."

"Tapi, kan nggak harus bertingkah sedekat itu?" sambarku. Masih kesal.

"Iya, kali ini aku yang salah. Maaf, ya. Lain kali enggak lagi. Oke?" Aku tak menjawab. Tapi memeluk lengannya dan bersandar di bahunya.

Untuk sejenak kami sama-sama terdiam. Memandang kejauhan. Melihat air mancur tepat di jantung taman. Cemara-cemara tanggung, yang melambai tertiup angin dan bunga-bunga. Jam segini, taman ini tak begitu ramai. Rasanya begitu teduh dan nyaman. Walau matahari berusaha menerjang dari celah daun-daun. Sampai Ryuji berpamitan.

"Tunggu sebentar!" Ia meninggalkanku sendiri. Sampai kembali membawa dua buah corneto jumbo.

Aku menyambutnya gembira. "Maaf, sempat merusak suasana. Tapi mungkin ini bisa menebusnya," Ryuji membukakan satu untukku dan memberikan.

"Cokelat atau stoberi?"

"Dua-duannya!" celetukku. Yang langsung membuat hidungnya berkerut.

"Terus aku?"

"Do amat." Aku melelet. Merampas dua buah es krim di tangannya. Ia hanya tersenyum geleng-geleng.

"Dasar anak nakal!" Dia menyerobot es krim yang kumakan. Aku menariknya lagi.

"Hei, ini milikku!" Aku tak terima. Dia menarik tanganku memakan dengan rakus sampai sisa setengah.

"Dasar rakus!" sungutku. Ryuji tergelak. Lalu kami makan bergantian.

"Eh yang satu cair lho!" ingatnya. Segera menyambar. Aku langsung melakukan penyelamatan. Mendorong wajahnya.

"Curang!" dengusnya. Lalu tergelak.

"Biarin!" Aku melelet dan benar-benar tidak mau berbagi. Dia diam di tempat, cemberut. Aku mendekat dan memberikan padanya. Dia menunjuk mulutnya.

"Dasar manja!"

"Ya udah. Aku minta Marissa aja buat ...." Aku buru-buru menjejalkan es krim ke dalam mulutnya dengan kesal. Ia mengangkat dua jarinya tanda peace, nyengir.

Ponselnya berbunyi. Wajahnya berganti serius, kemudian menatapku,
"Ta, kita harus pergi sekarang!"

Parcel Boneka BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang