ARTI SEORANG TEMAN

97 6 0
                                    

"Alaah! Kalian itu nggak usah halu. Sekarang mah realistis aja. Mending fokus mikirin lomba," celetuk Septian yang langsung membuat bahu Irana merosot. Aku menjentikkan jari.

"Nah, tul, itu! Kali ini aku setuju sama Septian!" Kutepuk-tepuk bahu Septian sok akrab.

"Tumben nggak panggil Asep?" Ia menatapku curiga.

"Oh, iya! Sorry. Aku khilaf Sep. Asep!"

"Alieeen!" Lah Si Septian bikin bingung. Giliran otakku lagi bener dia bilang tumben? Giliran aku berulah malah marah? Ckck! Sama sekali tidak dapat dimengerti.

"Kalian jangan matahin gini, dong! Sebenarnya aku juga pernah punya mimpi yang sama seperti Irana." Niva membuat pengakuan secara terbuka. "Dan aku senang. Ternyata aku tidak sendiri." Niva menatap Irana yang matanya berbinar-binar bak melihat mata air di gurun pasir. Dari mata mereka, seolah merasa senasib sepenanggungan.

Septian hanya mengangkat bahu. Tak begitu peduli. Aku pun juga malas jika harus berdebat. Aku memainkan sebuah kunci. Sampai kunci itu jatuh ke lantai menimbulkan bunyi.

"Alentaaa!" Niva separuh berteriak. Aku memungut ke bawah sampai kepala terantuk meja. Dan mereka mentertawakanku.

"Teman macam apa kalian? Bahagia di atas penderitaan temannya!" dengusku. Mengusap ubun-ubun.

"Sakit, Ta?" Irana menatap tidak enak. Dia seperti berusaha menahan tawa. Aku mringis.

"Enggak, kok! Nggak salah lagi. Sial!" Aku mengusap ubun-ubunku lebih kencang.

"Lagian apaan si, Va. Panggil-panggil namaku. Sampe keburu dan kepentok, kan?"

Niva terpingkal-pingkal. Si Septian geleng-geleng. Seperti menganggap penderitaanku ini tidak penting dan aku terlalu lebay. Huh!

"Enggak! Aku ingat sesuatu. Kamu belum buka loker, kan minggu ini?"

Aku menggeleng. Sama sekali tak penting. Sudah kubiarkan lokerku kosong melompong. Tidak pernah menaruh apa-apa di sana. Karena selalu sesak dan penuh.

"Ayo kita buka! Itu tadi kunci loker, kan?" Niva berkata antusias. Irana dan Septian menatap heran.

"Memangnya ada apa?" Irana menatap ingin tahu.

"Udah deh, kalian ikut, aja!"

Niva memaksa kami pergi ke loker siswa. Dia juga merebut kunci lokerku.

Begitu dibuka, Banyak barang-barang berjatuhan dari sana. Ini hal biasa bagiku. Tapi, membuat Irana menutup mulut syock. Bahkan Septian menjadi lebih peduli. Apalagi pada cokelat-cokelat yang pada jatuh dan patah itu. Karena tidak muat dan dipaksakan. Bunga-bunga yang sudah kering dan gepeng tertindih. Amplop warna-warni. Yaampun. Norak sekali cara seperti ini. Sejujurnya aku kurang suka. Makanya aku meninggalkan lokerku tanpa pernah membukanya lagi. Tapi mereka tetap saja menjejalkan barang-barang pada lokerku.

Niva memungut kesenangan cokelat-cokelat batangan itu. Bahkan ada album musik, bandana, gelang, novel, jam tangan, dan boneka panda ukuran sedang.

"Wow! Keren. Kamu punya banyak pengagum Alenta!" Irana menatap berbinar-binar. Sedang Septian sibuk tertawa membaca amplop-amplop itu. Rasanya sangat aneh melihatnya tertawa seperti itu. Tidak biasa.

"Hei, hentikan!" Aku mencegah. Tapi Septian menjunjung tinggi-tinggi dan terus membaca dengan suara keras. Sampai aku lelah sendiri. Dan membiarkan dia meledekku. Sepuasnya!

Benda-benda yang kuterima itu, ada nama terang pengirimnya. Ada juga yang tidak. Biasanya puisi atau surat cinta. Tapi aku tidak pernah membalas.

Amplop-amplop itu berhamburan. Aku berusaha memunguti sebisaku. Jangan sampai ini membawa aib di masa depan. Yaelah! Aku lebay amat.

Sampai tatapanku terhenti pada sepatu kets biru muda. Calista! Ia tersenyum ramah padaku.

"Wow! Asyiknya, punya temen keren, ya!" celetuknya. Aku tidak tahu apa maksudnya. Ekor matanya tidak menatapku. Tapi melirik teman-temanku. Membuat Niva merasa tersinggung hendak maju. Tapi ditahan oleh Irana.

"Apa maksudmu?" Aku tak terima caranya memandang rendah teman-temanku. Dari nadanya, Calista terlihat menjatuhkan mereka.

"Alenta, Sayang! Sepertinya kamu terlalu lugu. Kamu tau, fokus di sekolah ini terpecah menjadi dua. Aku, dan kamu!"

Aku menelengkan wajah, menatapnya tak mengerti.

"Aku idola, kamu idola. Jadi, kenapa tidak kita berteman? Kamu bisa bergabung dengan Starlight. Tempat di mana teman-temanmu yang sebenarnya berada. Kita bisa membangun Starlight bersama. Aku akan mengajarkanmu bagaimana caranya menjadi idola yang sesungguhnya. Kita akan menjadi fokus utama di sekolah ini. Sebenarnya, kamu bisa lebih cantik dan keren daripada penampilanmu saat ini. Dan ... Ada yang perlu diubah darimu. Cara tertawamu yang kampungan, tidak elegan sama sekali, itu bukan ciri khas idola."

Wow! Jadi sekarang aku paham alasan kenapa ia begitu menginginkanku masuk ke ekskul chirs dan menjadi anggota Starlight. Aku berusaha menahan diri.

"Boleh aku bertanya?" tanyaku.

"Apa?"

"Apa arti seorang teman bagimu?"

Calista terdiam beberapa detik. Seperti syock mendengar pertanyaanku.

"Orang yang menguntungkan?" Ia berkata ragu-ragu. Seperti takut salah.

"Jadi menurutmu aku menguntungkan bagimu?"

Parcel Boneka BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang