Aku terbengong. Ryuji menggaruk kepalanya. Melihat wajahnya yang sudah mirip kepiting rebus aku tertawa hebat.
"Malah diketawain," keluhnya.
"Katanya bukan selera?" Aku sedikit menyindir. Bersedekap dengan kerennya. Kupasang tampang paling cool yang kupunya. Dia mringis.
"Ah itu ...." Untuk pertama kalinya kulihat ia mati kutu. Hahaha. Wajahnya tampak lucu. Aku kepingkal.
"Ta, tapi aku serius." Kali ini ia menatapku. Tak ada lagi senyum tengil di sana.
"Kak, sebenarnya aku ... Aku ...." Aku bingung harus menyampaikannya. Dia terlalu baik. Meski tengil dan menyebalkan. Tapi, Ryuji beda dengan Bryan. Yang aku bisa menolaknya dengan keras. Hmm ... Aku menarik napas.
Tak sengaja, mataku menangkap kehadiran Kak Hans di pintu dapur. Dia sedang mengamati kami. Entahlah. Melihatnya, membuatku merasa kesal. Tanpa pikir panjang. Aku kembali menatap Ryuji.
"Aku mau!" Matanya melebar nyaris tak percaya. Aku melihat binar terang di matanya.
"Serius?" Aku mengangguk tersenyum paling manis. Ryuji nyaris melompat. Dia mengacak rambutku.
"Hei! Nggak gini juga, kali!" protesku. Dia berganti merapikan.
"Maaf. Aku terlalu senang. Jadi sekarang kita?" Matanya menyala. Aku tersenyum mengangguk.
"Cerewet. Dicancel, nih!" ancamku. Dia langsung setengah melotot.
"Enggak. Nggak boleh!" Lalu menarikku ke dalam pelukannya.
"Makasih, Ta!"
Aku melihat Kak Hans yang masih berdiri di sana.
Sampai Ryuji melepas pelukannya dan menyadari kehadiran Kak Hans.
"Eh, Bro!" Suaranya benar-benar ceria.
"Udah terusin." Kak Hans tersenyum lebar. Aku tidak ingin melihat wajahnya, sengaja membuang muka.
"Hans, kok di sini, sih! Sejak kapan. Yaah, ngeganggu banget." Ryuji pura-pura cemberut. Lalu terkekeh. Dramanya sangat payah.
"Iya deh. Oke, oke. Terusin. Aku ke sini cuma mau minta maaf sama Alenta. Sorry buat yang tadi. Aku harap, kamu nggak nganggep serius omongan Marissa."
"Oh enggak kok, Kak. Aku biasa aja." Kuberi senyuman paling ceria.
"Ya, dia tak masalah," Ryuji menarik bahuku merapat padanya. Aku tersenyum. Kak Hans hanya mengangguk."Jangan lupa traktirannya, ya. Atau ... Perlu bantuan nih, buat bilang ke yang lain?" Kak Hans mengangkat alisnya.
"Nggak perlu repot-repot. Ntar aku yang ngomong langsung deh. Apalagi sama Satria," katanya melirikku.
Aku balas dengan senyum. Dari ekor mata, kusempatkan diri untuk melirik Kak Hans yang benar-benar biasa saja. Mungkin aku memang tidak berpengaruh baginya. Mungkin memang sudah saatnya aku move on. Berganti pada sosok menyebalkan yang menerimaku apa adanya ini.
Mataku tidak sengaja bertemu lagi dengan mata Kak Hans. Kali ini, aku seperti melihat luka di sana. Tapi mungkin ini hanya perasaanku saja.
***
Di gazebo belakang, anak-anak Ciluk Baa tengah menunggu. Setelah aku menyelesaikan tugasku, aku kembali ke mereka. Karena kami akan melanjutkan kerja kelompok.
"Alentaaa!" Niva langsung menyambutku heboh. Seperti yang sudah kuduga. Dia pasti menanyakan perihal tadi. Aku jawab yang sebenarnya sampai membuat mereka menjadi usil. Memaksaku untuk menraktir.
Usainya, saat teman-temanku hendak pulang, kami melewati ruang tengah. Teman-teman Kak Satria juga pada pulang. Hanya tinggal lima orang di sana. Kakakku, Ryuji, Kak Hans, dan dua orang lagi yang cukup asing bagiku. Mereka terlibat pembicaraan serius. Sampai membuat kami sedikit kepo. Apalagi, ada sebuah kardus di atas meja yang begitu mencuri perhatian.
"Udah jangan khawatir. Ini pasti cuma orang iseng," Kak Satria berusaha menenangkan teman-temannya.
Aku semakin penasaran. Bau busuk semakin menyengat saat aku mendekat. Ada banyak lalat mengerubung di sana.
"Apaan sih, ini, Kak?" Aku mendekat. Melongok ke isi kardus.
"Jangan liat. Nanti kamu nggak bisa makan!" tukas Kak Satria.
"Iuh!" Niva langsung memalingkan muka begitu tahu isinya. Bahkan nyaris muntah.
"Wah, nggak beres, nih!" gumam Septian. Sementara Irana matanya langsung fokus mengamati sambil menutup hidung.
"Parcel boneka?" Ia berkata keheranan. Kakak-kakak di depan kami pun menatap dengan pandangan sama.
Sebuah parcel yang tidak biasa dan cukup mengerikan. Di sana ada beberapa boneka ayam yang dilumuri darah dan daging mentah yang membusuk. Sepertinya darah binatang. Darah itu telah mengering. Lalat-lalat mulai tertarik mengerubungi.
"Aku tidak tahu siapa yang menaruh ini di depan ruang senat. Pagi-pagi aku datang untuk mempersiapkan acara, tak sengaja menemukannya." Kak Hans memberi info.
"Masih ingat waktu pagi-pagi aku ke sini?"
Aku setengah membuka bola mata.
"Oh, yang waktu itu!" seruku. Teringat bagaimana ekspresinya terlihat mencekam dan panik. Pantas saja.
"Kenapa nggak dilaporin polisi?" Niva mati-matian menutup hidung. Dia sedikit berada di belakang kami tidak tahan.
"Aku nggak mau ribut-ribut dan menimbulkan kecemasan bagi lainnya. Jadi ... Kuminta Hans untuk menyimpannya." Kak Sat menjelaskan.
"Bagaimna kalo ini bukan sekedar iseng? Tapi memang pertanda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Parcel Boneka Berdarah
Novela Juvenil-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan.- Ada sepuluh nyawa. Ada sepuluh boneka ayam. Ada sepuluh lagu kematian. Alenta dan teman-teman berusaha mengungkap kasus pembunuhan anak-anak senat di...