"Kak Hans?" Kak Hans membuka helmnya. Mendadak aku disergap rasa kikuk kembali saat ia melihatku.
"Maaf, Ryuji bilang sedang sibuk. Dia memintaku untuk menjemputmu," terangnya kaku. Ugh! Aku merasa bukan hanya aku. Tapi Kak Hans sendiri sepertinya grogi berhadapan denganku. Oh God! Kenapa si menyebalkan itu malah menyuruh Kak Hans yang menjemputku? Sialan! Dia kan bisa meminta lainnya? Dan kenapa dia tidak mengatakan langsung. Sms kek minimal. Ini malah ponselnya nggak aktif. Kan aku bisa nebeng Niva atau Irana. Tidak perlu dijemput Kak Hans segala. Aku menyesali perbuatannya ini. Huh!
"Ta, sekarang aku tau siapa kurirnya." Seketika rasa grogiku tenggelam oleh rasa kepoku. Aku mendekat ke arahnya saat Kak Hans membuka kertas hasil print gambar wajah si kurir.
"Dapat dari mana, Kak?"
"Rekaman CCTV. Beruntung, tertangkap kamera. Di sini, nomor motor, wajah dan seragam identitas tempatnya bekerja terlihat cukup jelas."
Aku mengamati lamat-lamat disela Kak Hans menjelaskan.
"Seragam warna hijau muda. Ini seperti ... Kurirnya OK ANTAR," terka-ku. OK ANTAR adalah nama salah satu perusahaan jasa pengiriman barang.
"Tepat sekali!" Kak Hans menjentikkan jari.
"Apa tidak keberatan kita ke kantor OK ANTAR dulu?" ia menawarkan ragu. Aku menggeleng. "Aku juga penasaran ingin tau," celetukku. Akhirnya siang itu, aku dan Kak Hans menuju kantor OK ANTAR di kotaku.
Seorang resepsionis menyambut kami dengan ramah. Dan tambah ramah saat melayani Kak Hans.
"Sebentar saya cek dulu!"
Aku dan Kak Hans menunggu. Sekitar hampir sepuluh menit kemudian, si resepsionis memanggil.
"Benar. Dia pernah bekerja di sini. Namanya Danu," terang resepsionis itu. Aku dan Kak Hans saling pandang.
"Pernah? Berarti sekarang tidak?" Aku memperjelas. Si resepsionis tersenyum manis mengiyakan.
"Dia sudah mengundurkan diri."
"Kalo boleh tau, kenapa?" timpal Kak Hans. Si resepsionis menatap kami curiga.
"Kalian siapanya Danu?" tanyanya dengan mata menyipit.
"Ehm ... Perkenalkan. Saya anak dari adiknya anaknya anaknya lagi Kakeknya Danu," ujarku. Si resepsionis mengerutkan dahi halusnya. Kak Hans sama menatapku setengah mengernyit. Aku menahan senyum. Memberi kode pada Kak Hans untuk tetap bersikap tidak mencurigakan.
"Bisa dibilang sepupu jauh. Jadi saya belum pernah mengenal Danu. Saya hanya tahu wajahnya kemarin. Ini yang memotret ibu saya. Jadi sebenarnya keluarga saya dan keluarga Danu berpisah sudah ...."
"Baiklah. Sudah cukup!" Si resepsionis sepertinya benar-benar kebingungan dengan kalimatku yang membuletisasi.
"Menurut keterangan, Danu berhenti karena sudah tidak punya motor. Syarat bekerja di kantor kami adalah memiliki kendaraan sendiri," lanjut si resepsionis. Aku memasang tampang semenyedihkan mungkin.
"Kasian sekali sodaraku itu. Boleh saya meminta alamatnya?" Si resepsionis memberikan.
Aku dan Kak Hans tidak berhenti tertawa begitu keluar dari kantor OK ANTAR.
"Pinter, ya! Sampe kebingungan gitu," Kak Hans geleng-geleng tertawa lebar.
"Hahaha. Siapa dulu! Aku gitu!" Aku memasang gaya paling kerenku. Menyentuh kerah dengan coolnya. Kak Hans terkekeh geleng-geleng melihat tingkahku. Tanpa sengaja, kami saling pandang. Dan suasana berubah drastis. Mendadak aku disergap lagi grogi berlebihan ini.
"Ehm ... Keburu sore. Ayo!" Ia mengajakku melacak tempat tinggal si Danu. Tidak mudah. Kami berputar hampir dua jam. Danu tinggal di perumahan yang banyak penduduk. Tampak lusuh, dan banyak gang-gang kecil. Kak Hans menghentikan motornya dan menaruh depan sebuah warnet.
"Parkir di sini aja, ya! Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ujarnya.
"Jadi kita jalan kaki?" Kak Hans mengangguk.
"Aku memiliki firasat yang kurang baik. Kalo parkir di sini, akan memudahkan kita kabur." Aku mengangguk paham. Tidak banyak bertanya.
Kami memasuki gang yang penuh genangan air. Dan banyak ayam berkeliaran. Ada drum-drum bekas, baju tersampir di pinggir-pinggir tembok rumah. Banyak laler berterbangan mengerubungi kotoran ayam. Sampah yang menumpuk di ujung gang yang tidak diolah dengan baik. Lingkungan yang tidak sehat dan kumuh.
Kami bertanya pada salah seorang ibu yang sedang menjemur pakaian.
"Oh, Danu? Dia paling kelayapan jam segini. Ngamen di lampu merah noh!" jawabnya ketus. Terlihat acuh tak acuh.
"Itu rumahnya," si Ibu menunjuk rumah paling pojok warna biru yang catnya sudah terkelupas. Plafonnya merotol dan tampak tak terawat. Depannya ada sofa yang sobek dan busanya keluar.
"Jam segini, dia nggak akan pulang. Percaya deh! Nanti paling pulangnya malam."
Aku dan Kak Hans saling pandang. Kami memilih untuk menunggu sampai pukul empat sore.
"Gimana nih, Kak?" Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke lampu merah yang disebutkan ibu tadi. Tapi saat keluar dari gang. Seorang cowok dengan pakaian kucel kumelnya melangkah santai pulang.
"Hei dia!" Aku menunjuk. Danu yang melihat kami terlihat ketakutan. Ia mendadak lari kalang kabut. Kenapa dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Parcel Boneka Berdarah
Novela Juvenil-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan.- Ada sepuluh nyawa. Ada sepuluh boneka ayam. Ada sepuluh lagu kematian. Alenta dan teman-teman berusaha mengungkap kasus pembunuhan anak-anak senat di...