TEKA-TEKI

115 6 0
                                    

Bagaimana kalo ini teror?"

Irana menimpali ucapan Niva. Membuat kami saling pandang satu sama lain.

"Yang kayak gini adanya di film-film. Kita nggak lagi syuting film psikopat, lho!" sahut teman Kak Satria dengan suara bergetar. Dia seperti ketakutan. Cowok dengan wajah Indonesia Timurnya. Yang baru ku ketahui namanya, Yabes.

"Bener. Mungkin hanya orang iseng seperti yang dibilang Satria. Ingin nakut-nakutin anak senat, misalnya? Atau orang-orang yang kurang kerjaan?" cetus satu teman Kak Satria yang lain. Kak Evan namanya.

"Tapi kita jangan terlalu remeh menanggapi soal ini," kali ini kulihat Ryuji bergumam. Ia memasang wajah seriusnya, yang jarang kulihat selama ini. Keren juga. Hahahaha.

"Apa yang dibilang Ryuji ada benarnya. Tetap harus waspada dan tidak tinggal diam. Alangkah baiknya, kalau kita menyelidiki ini lebih lanjut." Kak Hans berusaha mengajak temannya.

"Setuju!" Ryuji menambahkan. Hah! Dua sepupu itu terlihat begitu kompak dan sepemikiran.

"Gimana, Sat?" Yabes meminta pendapat. Kak Satria terdiam cukup lama.

"Ada sepuluh boneka ayam di sana," sela Irana tiba-tiba yang membuat kami langsung menatapnya.

"Boleh aku mengambilnya?" Semua menatap dia seolah bertanya--mau apa gadis ini?

"Jangan! Mungkin di sana ada sidik jarinya. Jangan dirusak!" cegahku.

"Tenang saja." Irana mengambil sarung tangan karet dari dalam tasnya. Lalu tanpa jijik, membedah plastik pelindung dan mengambil salah satu boneka.

"Lihat!" Irana menunjukkan ada 'huruf Y' di badan ayam. Terbuat dari kain flanel, berwarna biru yang sudah tercampur warna merah darah.

"Mungkin ini juga pertanda?" katanya. Lalu mengambil satu lagi.

"Ayam berikutnya huruf K." Irana menunjukkan dua buah contoh boneka ayam. Ia berkata macam Shinichi Kudo yang tengah memecahkan kasus. Cukup menarik dan terlihat pintar. Bukankah menjadi detektif itu mimpinya?

"Dan ayam-ayam lainnya memiliki huruf masing-masing!" Irana menekan-nekan boneka itu, dengan tangannya.

"Pasti ada petunjuk yang lain," gumamnya tak berhenti menekan. Sampai boneka itu jatuh ke lantai karena dia terkejut. Bukan hanya dia. Tapi kami semua sama-sama terkejut. Boneka itu bernyanyi.

-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan-

Kami terperangah mendengar lagu yang aneh itu. Terjebak dalam kebisuan. Seperti tenggelam pada pikiran masing-masing.

Bukankah itu lagu anak-anak? Tapi liriknya diubah. Itu juga lagu yang sering kunyanyikan untuk mengejek Ghara. Lagu yang lucu bisa semenyeramkan ini? Diam-diam aku merasa merinding sendiri.

Tak ada satu pun yang membuka pembicaraan. Hingga nada dering dari ponsel Kak Satria berbunyi.

"Apa! Loya meninggal?" Kupastikan semua mata yang hadir di sana sama-sama membelalak. Meski aku tidak tahu siapa Loya. Tapi, itu cukup membuat rasa ingin tahuku meluap.

"Oke. Aku segera ke sana." Kak Satria mematikan ponselnya.

"Loya ... Loya over dosis." Mata kakak-kakak di depan kami saling membelalak tak percaya.

"Maksudmu obat-obatan?" Kak Evan menatap tak percaya.

"Dia pengguna?" Yabes tak kalah syock.

Kak Satria tertunduk.

"Siapa Loya?" Septian bertanya penasaran.

"Teman kami. Anggota senat juga," sahut Kak Evan.

"Dia meninggal di kos-kos-san. Kita harus ke sana!" ujar Kak Satria. Tapi sebelum itu, aku penasaran.

"Tunggu sebentar!" cegahku. Membuat mereka mengalihkan pandang padaku.

"Irana, coba ambil boneka dengan huruf L," pintaku. Yang membuat semua mengernyit. Irana langsung mencari boneka dengan 'huruf L'.

"Ada?"

"Iya. Ini dia!" Irana menunjukkan. Kecurigaanku semakin jelas.

"Sekarang, putar musiknya."

Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, Irana menekan dada boneka sampai kami mendengar lagu itu bersenandung.

-Tek kotek kotek kotek. Anak senat tinggal sembilan. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal delapan-

Kami semua membelalak. Saling tatap satu sama lain.

"Barusan yang meninggal bernama Loya, kan? Pas sekali dengan 'huruf L'. Bukan tanpa alasan huruf-huruf itu dicantumkan. Sepertinya, huruf-huruf itu, inisial dari nama-nama target," terangku.

"Target?" Ryuji menatapku.

"Target terbunuh selanjutnya," kali ini, Niva menyahut.

"Mengambil kesimpulan dari lagu, sepertinya akan ada sepuluh anak senat yang mati." Septian mengusap-usap dagunya. Yang membuat Yabes terlonjak marah.

"Jangan sembarangan kalau ngomong, ya!" katanya penuh emosi. Menunjuk-nunjuk Septian. Yang segera dihalau Kak Evan.

"Selow, Kak. Itu hanya pradugaku. Sudah jelaskan?" Septian tak mau kalah. Akhirnya, Yabes mau didudukkan kembali.

"Dan dari lagu itu, dijelaskan sisa delapan. Berarti sudah dua orang, dong?" timpal Niva.

"Ya. Seminggu yang lalu, Yosea." Ryuji menerangkan.

Mata kami menjurus pada boneka yang tergeletak di lantai dengan inisial Y.

Irana lalu mengurutkan boneka itu sesuai lagu. "Berikutnya inisial S."

Aku langsung menoleh pada Kak Satria, cemas. "Kakak ...."

Parcel Boneka BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang