Benar dugaanku. Asep melakukan kesalahan yang sama. Hiuh! Inilah kenapa ekskul KIR tidak begitu diminati. Wajahnya yang terlalu kaku dan terus-terusan bete itu, sama sekali tidak membawa keberuntungan. Apalagi, cara presentasinya yang terlihat begitu formal.
Setelah aksi pertunjukkan masing-masing ekskul, kami berjajar mengantri di tempat pendaftaran. Antrean paling banyak, ada di ekskul chirs. Lalu ekskul basket yang paling membludak. Ekskul KIR hanya ada 5 orang. Dan salah satunya diriku.
"Alenta, kamu yakin masuk ekskul ini?" Calista tahu-tahu berdiri di sebelahku.
"Ya. Tentu. Sepertinya menyenangkan?" Setengah berbohong. Karena Asep si menyebalkan selalu merusak suasana hatiku.
"Kamu lihat, begitu banyak yang antusias masuk ekskul kami, lho. Bahkan kami harus mengadakan seleksi kembali. Kamu nggak minat? Khusus untukmu, kamu akan masuk ke ekskul kami tanpa tes. Gimana?" Calista melayangkan senyuman mautnya. Setengah merajuk. Luar biasa. Bahkan aku nyaris tidak enak padanya. Sampai suara cempreng Niva menggema.
"Jauhi, dia!" Niva berdiri di antara aku dan Calista. Ia menegakkan kepala, angkuh. "Atau aku akan mencakar wajahmu?" Niva mengeong seram. Membuat Calista berjalan mundur begitu jari-jarinya diajukan untuk mencengkeram. Aku menahan tawa.
"Rese!" kesal Calista menghentakkan kaki, mundur dan berbalik menuju teman-temannya. Seketika jebol usahaku untuk menahan tawa.
"Berani-beraninya mengganggu calon pendaftarku," Niva menaruh lengannya di bahuku. Tersenyum penuh kemenangan.
Jadilah, ekskul KIR paling awal menyelesaikan tugasnya. Ada 9 orang sekarang. Selain Asep, Irana, Niva dan Ucup--Ucup sedang sakit, jadi dia tidak bisa turut berkontribusi hari ini--sebagai penghuni tetap. Ketambahan aku, Imelda, Riris, Steal dan Komar. 3 anak perempuan dan 2 anak laki-laki.
Asep membubarkan para anggota barunya. Hanya tinggal pengurus inti di sana. Ia sebagai ketua, Irana sebagai wakil, dan Niva sebagai sekretaris yang sibuk membahas bahan untuk menghadapi lomba tiga bulan lagi.
"Bagaimana kalau Briket?" Irana yang tampak cerdas mengusulkan. Aku diam saja.
"Itu terlalu umum. Bagaimana kalo pembangkit listrik alternatif?" Niva mengurut hidung.
Sementara Asep seperti mencari sesuatu.
"Sepertinya, ponselku ketinggalan. Sebentar, ya!" Asep keluar perpustakaan meninggalkan kami. Ya, markas anak-anak KIR memang di perpus. Di satu tempat yang diberi sekat dilengkapi dua buah komputer dan karpet. Jadi bisa glesotan. Bisa tiduran juga. Aku merasa sangat beruntung. Hahaha. Tiba-tiba otak jeniusku memunculkan ide cemerlang.
"Bagaimana kalau pembangkit listrik alternatif tenaga ketiak Kak Satria?" Ira mengangkat sebelah alisnya aneh.
"Kenapa? Bukankah juga mengandung asam? Sumpah ketiak Kakakku itu, asam banget!" Kututup hidung untuk meyakinkan mereka. Membuat Irana yang terheran langsung menyembur tawa. Kami kepingkal-pingkal sampai keluar air mata. Bahkan aku tidak menyangka, Irana akan sengakak itu. Si pendiam yang kupikir tidak begitu pendiam. Aku memang kurang akrab dengan Irana Jung. Gadis pindahan dari Korea itu lumayan tertutup. Dia blasteran Indonesia-Korea. Siapa yang tidak mengenal keluarga Jung? Salah satu keluarga yang malang melintang di dunia perbisnisan. Irana sebenarnya cantik. Tapi terkadang ia terlalu cuek.
"Setooop! Hentikan!" Niva membuat kami seketika terdiam.
"Dasar adik tidak tahu diuntung! Bisa-bisanya kamu memfitnah Kakakmu sendiri. Kamu lupa, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan?" Niva mendramatisir. Benar-benar mirip dengan Kak Satria. Oh God! Bagaimana jadinya kalau mereka bersama? Yang ada nanti ... Duo alay. Mendapat nobel, couple teralay sedunia.
"Yee, emang kenyataan, kok!" Aku membela diri.
"Kak Satria itu wangi, tau!"
"Sok tau! Apa kamu pernah dipeluk dia sehabis main futsal? Pernah diketekin? Enggak, kan?" Kulihat binar mata Niva berubah.
"Aah! Mau dong dipeluk!" Niva mulai terhanyut khayalannya.
"Nggak bisa!"
"Kenapa?" protesnya.
"Pokoknya nggak boleh. Aku nggak setuju!" Jadilah kami ribut kembali. Niva menjambakku, aku menarik kerahnya. Sampai wajah kami begitu dekat.
"Romantis sekali. Ya ampun! Segera tobat kalian. Sebelum kiamat tiba," celetuk Asep yang tahu-tahu nongol. Menunjukkan muka prihatin seolah kami telah menyimpang. Lebih tepatnya meledek.
Aku dan Niva buru-buru melepas pegangan kami. Dan berteriak barengan. "ASEP!"
"Septiaaan! Bukan Aseep!" Asep menatap gemas. Seperti ingin meremat kami. Aku dan Niva ber-high five ngakak. Kali ini, kami akur. Ya, untuk kali ini saja!
"Dasar anak kecil!" Irana menaruh mukanya pada meja. Melihat kami setengah frustrasi. Jadilah target kami untuk diisengi selanjutnya, adalah dia. Aku dan Niva--mumpung kompak--buru-buru menyerbu Irana.
***
Kakiku sudah kesemutan. Hampir setengah jam menunggu si ojek pribadi. Alias Kak Sat yang menyebalkan itu. Tapi mana coba?
Detik kemudian sesosok muncul dengan motor. Tapi bukan dia.
"Hai, aku Ryuji!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Parcel Boneka Berdarah
Teen Fiction-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan.- Ada sepuluh nyawa. Ada sepuluh boneka ayam. Ada sepuluh lagu kematian. Alenta dan teman-teman berusaha mengungkap kasus pembunuhan anak-anak senat di...