LAGU KEMATIAN

98 7 0
                                    

Tek kotek kotek kotek. Anak senat sisa delapan. Tek kotek kotek kotek, mati satu tinggallah tujuh.

Irana membunyikan lagu menyeramkan itu. Jauh lebih menyeramkan saat kulihat insial 'huruf S' terpasang di dada boneka ayam.

"Udah, deh. Kenapa pada parno gini, sih? Ta, jangan terlalu dipikirin. Aku yakin ini hanya kebetulan." Kak Satria mendengus kesal. Ia menyambar jaketnya dan beranjak.

"Mending sekarang kita ke tempat Loya," ia menatap teman-temannya.

Aku ingin mencegah, agar ia tak pergi ke mana-mana. Tapi ....

"Kak!"

"Apalagi? Alenta, udah, ya! Nggak usah mikir yang macem-macem." Dia menepuk kepalaku, pelan. "Ati-ati di rumah, jaga Ghara," pintanya sebelum enyah. Yang segera diikuti komplotannya.

"Hei, Anak nakal yang baperan. Pergi dulu, ya!" Ryuji berhenti di depanku.

"Kak! Jaga Kakakku, ya!" pintaku. Tak henti memainkan jari untuk sedikit mengurangi rasa cemas.

"Tanpa kamu minta, aku pasti jagain!" Ia tersenyum teduh. Tidak seperti biasanya yang tengil. Menepuk pipiku.

"Eits! Nggak boleh banyak-banyak sentuhnya!" Kak Satria segera menjauhkan Ryuji dariku. Seolah mengamankan.

"Yaelah! Calon Kakak Ipar pelit amat!" Mukanya ditekuk. Tapi tersenyum lagi, mencium telapak tangannya dan meniup. Menggelikan. Hahaha. Tapi aku cukup terhibur dengan tingkahnya.

"Dan Kak Sat masih juga bilang ini kebetulan? Padahal sudah jelas tanda-tanda menjurus pada dua korban," cetus Irana, setelah mereka pergi. Menggeleng tak habis pikir. Irana melepas sarung tangannya lalu mengambil kertas dan bolpoin.

"Mau ngapain, sih?" tanya Septian. Aku dan Niva hanya memandanginya.

"Kita harus mengumpulkan data-data ini. Suatu saat, pasti berguna."

Dia juga memintaku untuk memotret sebagai barang bukti.

"Lihat!" Irana menunjukkan hasil catatannya.

"Sepuluh boneka ayam. Dia antaranya ada Y, L, S, E, N, A, A, R, H, Y. Ada beberapa huruf yang sama di sini. Sepertinya ada beberapa anak senat yang memiliki nama depan yang sama sebagai target."

"Menurutmu? Apa ini begitu penting?" Septian berkata tak senang.

"Suatu saat, pasti dibutuhkan. Mungkin kita bisa melakukan penyelidikan lebih lanjut?"Irana terlihat begitu antusias.

"Udahlah, Na! Nggak usah repot-repot. Bukannya mereka tak ada yang peduli?" Septian menyanggah. Membuat bahu Irana tampak merosot.

"Asep! Jangan patahin semangat Irana, dong!" ketus Niva tak terima.

Sementara pikiranku terus berkeliaran memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

***

Aku menunggu jemputan di tempat biasa. Bukan Kak Satria yang muncul kali ini. Tapi seorang laki-laki dengan wajah cemberutnya. Ryuji. Ia membuka helm.

"Kak Sat mana?"

"Lagi sibuk. Persiapan buat ultah kampus," jawabnya ketus. Aku mengernyit. Ada yang tidak beres dengannya.

"Kenapa sih?" Tanpa menyahut, Ryuji mengambil sesuatu di belakang punggungnya. Sebuah kertas merah yang digulung dan ditali pita warna pink.

"Nih, baca!" sewotnya. Aku segera mengambil dan membuka. Langsung kepingkal-pingkal saat tahu isinya. Sementara dia tambah manyun.

Aku membacanya keras-keras. Dan berhenti untuk tertawa sampai mataku keluar air mata.

"Golden Rules untuk Ryuji. Pertama, nggak boleh pulang di atas jam sembilan malam. Kedua nggak boleh cium-cium sembarangan. Nggak boleh pegang-pegang berlebihan." Aku tak sanggup melanjutkan. Jingkrak-jingkrak membacanya. Bibir Ryuji semakin maju.

"Nggak boleh selingkuh. Awas kalo mainin Alenta, kumutilasi kau!" Ya ampun. Pake ancam segala lagi. Hahaha.

"Alenta alergi sea food. Suka es krim, cokelat. dan ...." Masih banyak lainnya. Aku sampai duduk jongkok terbatuk-batuk.

"Silakan tertawa sepuasnya!" Ia bersedekap masih di atas motornya. Kesal. Membuatnya terlihat semakin lucu.

"Ini sangat keren! Hahaha. Nggak nyangka. Kakakku itu luar biasa!" Aku berkata memanas-manasi. Ryuji menoleh terpancing.

"Dasar anak kakak!"

"Hei mana ada? Adanya tuh anak Mama. Anak Papa," protesku.

"Ini buktinya? Ada, kan?" Mukanya semakin suram ditekuk.

"Puk puk! Kasian!" Aku mengacak-acak rambutnya. Ia memberikan helm.

"Makan dulu, yuk!" ajaknya dengan nada biasa. Tidak seperti tadi. Aku segera naik ke jok belakang. Kami tenggelam di antara hiruk pikuk jalanan kota.

Ia membiarkan aku memilih ke tempat mana. Aku minta ke kedai es krim Momento. Tempat biasanya aku dan Kak Satria mangkal.

Aku langsung melihat daftar menu dengan kalap. Menunjuk hampir semuanya.

"Set dah! Banyak amat, Non? Emang itu semua dimakan?"

"Mumpung gratis." Aku melelet. Dia hanya menggeleng tergelak.

"Dasar rakus!" Aku tak peduli dengan omongannya. Mbak-mbak pelayan itu, terus saja melihat ke arah Ryuji dengan senyum dimanis-manisin.

"Hei, Mbak! Yang ngomong itu di sini! Kenapa liatinnya ke sana terus!" protesku yang langsung membuat si mbak tersipu. Ia buru-buru mencatat semua pesananku dan pergi. Ryuji hanya terbengong.

"Genit!" semprotku. Ryuji menatap bingung seolah tanpa dosa. Belum sempat ia bicara ....

"Hai!" Marissa menyapa.

Parcel Boneka BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang