GHARA NGGAK PULANG

89 7 0
                                    

"Jangan khawatir. Aku juga menguntungkan untukmu. Untuk apa berteman kalo tidak saling menguntungkan?" Calista menyeringai.

"Kalo suatu saat aku tidak seperti sekarang, apa kamu akan membuangku? Maaf, Cal. Aku tidak bisa berteman dengan sistim seperti ini."

Calista mendengus. Matanya menatap tajam.

"Oh, ya. Yang perlu kamu tau lagi, teman-teman yang kupunya saat ini menerimaku apa adanya. Tidak pernah memintaku mengubah cara tertawaku. Yang tadi kamu bilang kampungan itu," aku mengangkat sebelah alis. Cara Kak Satria kalau lagi usil.

Calista menatap tajam. Menggenggam erat tangannya lalu menghempaskan di angin-angin.

"Sombong!" desisnya. Kulihat kemarahan di matanya berkilat-kilat. Ia menghentakkan kaki kesal, berbalik dan pergi.

"Alentaaa!" Kurasakan tubuhku hampir tercekik. Ciuman mendarat di pipi. Kyaaak!

"Nivaaa! Apa yang kamu lakukan!" Aku mendorongnya kuat-kuat. Menjijikan! Mengusap pipiku agar tidak tercemari virusnya.

"Kamu romantis bangeeet!" Niva menggandeng tanganku genit. Iuh!

"Iya. Kamu keren!" Irana ikut-ikutan. Tapi dia tidak selebay Niva.

"Aku sayaaang kamuu!" Niva menempelkan pipinya di lenganku. Oh God! Musibah macam apa ini?

"Irana. Kamu terlalu polos. Ayo pergi sebelum terkontaminasi mereka." Septian menarik Irana menjauh. Gadis itu hanya menoleh ke tempat kami yang tertinggal di belakang. Aku dan Niva sama-sama bengong.

"Dia menuduh kita menyimpang lagi!" ujar Niva.

"Kamu sih!" semburku.

"ASEP!" Kami sama-sama berteriak geregetan.

***

Sudah pukul empat sore. Kak Satria belum pulang juga mencari Ghara. Hmm ... Aku setengah gelisah. Kenapa pikiranku jadi tidak enak. Ghara tidak biasanya belum pulang. Mana dia nggak punya ponsel lagi. Jadi ribet urusannya. Lain kali aku akan menyarankan papa membelikan Ghara ponsel. Jangan yang terlalu canggih. Yang penting dapat memudahkan untuk berkomunikasi. Peraturan dari papa, dilarang punya ponsel sebelum SMA. Aneh, kan? Tapi itu yang harus kami patuhi di rumah ini.

Suara bel berbunyi. Aku bergegas membuka pintu. Siapa tahu itu mereka. Tapi ternyata bukan. Sosok itu membuatku gugup.

"Sore, Ta!" sapa Kak Hans. Oh God! Dia tampak sangat keren dengan jaket krem dan kaus merah di dalamnya. Juga sedikit jambul yang tidak begitu berlebihan. Apalagi wajahnya yang kejepangan itu. Sedikit mirip dengan Ryuji. Hanya Ryuji lebih pendek dan kurus darinya. Tanpa tanya, aku sudah tahu kalau mereka sepupuan. Jelas! Nama Purnomo dan Pranata di akhir nama mereka menjelaskan semuanya. Tapi sifat keduanya benar-benar berbeda. Sangat berbeda. Kalau Ryuji menyebalkan, Kak Hansamu terlihat lebih tenang dan dewasa. Tingkahnya sangat manis. Sampai-sampai aku segan tiap kali bertemu dengannya dan selalu mati gaya. Tertawaku akan berubah lebih anggun layaknya seorang gadis normal. Aku sudah mencoba bersikap biasa saja. Tapi tetap belum bisa. Aku tidak bisa bertingkah lepas saat berhadapan dengannya. Sangat kaku.

Aku menyambut sapanya. Dengan sangat manis tidak banyak tingkah. Tuh kan! Aneh sekali. Dia seperti memiliki sihir bagiku.

"Satrianya ada?"

"Wah, Kak Satrianya lagi keluar tuh, Kak." Aku menjelaskan ke mana dia. Kak Hans memutuskan menunggu. Aduh, kenapa dia harus datang di saat rumah sepi begini? Sepertinya aku benar-benar akan mati kutu saat ini juga.

"Ayo, silakan masuk!" Kupinta Bibi untuk membuatkan minum. Aku kembali ke atas. Pamit ke kamar mandi. Padahal, aku sedang mengecek penampilanku. Semoga tidak malu-maluin. Takutnya ada kotoran hidung yang nyempil. Belek, atau biji cabe di gigi. Dan ... Dia benar-benar ajaib membuatku seketika peduli pada penampilan.

Aku menuruni tangga. Melihat dia yang tengah sibuk memetik gitar milik Kak Sat.

"Memangnya bisa?" Aku sedikit terkekeh. Mati-matian mencoba membuat suasana biasa saja. Tidak canggung.

"Bisa. Mau dengar?" Dia menyambutku hangat. Oh God! Aku tidak tahan saat dia melihatku.

"Coba!" tantangku. Sedikit meremehkannya. Dan sok keren. Hahaha. Kak Hans hanya membalas dengan senyum.

"Sedikit, sih!" Ia mulai memetik gitar akustik itu. Memerhatikan setiap senar yang ditempel jari-jarinya. Lalu bersenandung.

Akulah malammu
Akulah mimpimu
Walau aku bukan pacarmu
Yang mengisi harimu

Dalam hati aku mengutuk. Sial sekali! Kenapa dia harus memilih lagu ini? Kenapa pula aku merasa lagu ini memang ditujukan untukku? Ck! Rasa Ge-Erku ternyata begitu tinggi. Hahaha. Aku berusaha sebisa mungkin menikmati lagunya. Menggeleng-geleng pelan mengikuti alunan. Memperhatikannya. Detik berikutnya, aku benar-benar tidak bisa lagi. Saat tatapannya berganti dalam. Dan aku tercekat.

Kamulah bintangku
Terangi hatiku
Walau kamu bukan pacarku
But you are amazing girl to me

Aku tidak bergerak. Terlalu kaku. Apa ini ungkapan hatinya? Ehm ... Tapi perempuan kemarin itu?

Oh God. Tolong hancurkan suasana ini. Tolong!

Ponselku berbunyi membuat Kak Hans menghentikan lagunya. Aku segera mengangkat.

"Apa! Ghara masuk Rumah sakit?"

Parcel Boneka BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang