Cinta yang kupendam
Tak sempat aku nyatakan
Karena kau telah memilih
Menutup pintu hatimu ....Aku berusaha mengalihkan perhatian. Tapi pandangannya, terus terarah padaku. Bisa gawat, kalau sampai Ryuji atau siapa pun menyadarinya. Lalu semuanya mengangkat kedua tangan ke atas, melambai-lambai mengikuti alunan musik. Seolah ini konser tunggal saja.
Izinkan aku membuktikan
Inilah kesungguhan rasa
Izinkan aku menyayangimu ....Sayangku ... Houoou wo ooh ....
Semua terlarut dalam lagunya. Ikut bernyanyi. Aku tidak tahan. Aku perlahan mundur.
"Mau ke mana?" Tahu-tahu Ryuji menanyai.
"Capek. Mau duduk. Nyari tempat duduk, yuk!" Aku menarik lengannya. Mengajaknya duduk di emperan gedung serba guna.
Setidaknya di sini lebih aman. Kak Hans tidak akan bisa melihatku. Karena terhalang pohon dan tenda-tenda bazar. Aku mendongak, menatap Ryuji yang duduk di undakan aula, satu tingkat di atasku.
"Kak, boleh aku ambil kaosnya?"
"Kaos mana?" Ia tampak bingung.
"Ya inilah. Mana lagi," aku menunjuk kaus yang kupakai.
"Itu udah buluk. Emang mau?" Ia bertanya tak yakin. Aku mengangguk antusias.
"Memangnya kenapa kalau bulukan," ujarku. Mencium wangi parfumnya yang menempel di kaus ini. Harum yang segar, elegan dan menenangkan. Dia hanya tersenyum.
"Dasar anak ini!" Posisi duduknya yang lebih tinggi dariku, membuatnya dengan mudah menjepit kepalaku dengan ketiaknya. Huwaaah! Aku mendorongnya.
"Sejak kapan ketularan Kak Satria?" sungutku. Ryuji tertawa geli.
"Satria cerita, begini caranya melumpuhkanmu," Ia tertawa lebar. Aku ikut tertawa. Ryuji melakukannya sekali lagi.
"Kok nggak ngamuk sih? Yah, nggak seru, dong!" dengusnya. Aku mendelik.
"Jadi sengaja? Sengaja ingin membuatku marah?"
"Abis kamu lebih lucu kalo pas ngamuk. Ngegemesin," Ia mencubit dua pipiku.
Aku tak marah, malah senang. Diketekin seharian pun, nggak masalah. Asalkan tetap bersamanya.
***
Irana berjalan tergesah menghampiriku. Dengan mimik muka cemas. "Gawat, Ta!" ujarnya ngos-ngosan.
"Gawat kenapa?"
Irana mengatur napasnya yang senin kamis. Sampai normal kembali.
"Septian benar-benar mengundurkan ekskul KIR buat nggak ikut lomba tahun ini," infonya.
"Ah nggak mungkin. Dia itu orang yang ambisius, Na. Nggak mungkin mundur gitu aja cuma gara-gara kemarin," aku berusaha menenangkan Irana. Ia menggeleng cepat.
"Pak Rizal yang bilang. Kalo Ekskul KIR nggak akan mengirim perwakilan. Sebab Septian bilang kita tidak siap!"
Aku menepuk kening. Tanpa ba bi bu lagi segera menghampiri kelas Septian.
"Mau ke mana?" Irana berteriak memanggilku. Aku hanya melambai bilang kalau ada PR yang belum kuselesaikan.
Di kelas, Septian bersama seorang temannya. Deni. Yang seketika memasang muka manis menyambutku.
"Hai, Alenta!" sapanya. Aku hanya tersenyum dan meminta waktu agar dia mau keluar meninggalkan aku dan Septian berdua di kelas.
"Gila, Sep! Bisa dapatin yang kayak gini. Ntar kapan-kapan kasih tips, ya!" Septian mendelik mengangkat tinjunya seperti ancaman. Setelah Deni pergi, aku menatap tajam sosok menyebalkan itu!
"Si Tuan Datar Aseptian David Maulana, bodoh sekali! Benar-benar bodoh!" Septian mendelik menatapku tak kalah tajam.
"Apa maumu Alienta Ina Pamungkas?"Kami adu pandangan. Sepertinya sebentar lagi, bola mataku akan jatuh.
"Kalo kamu punya masalah pribadi, tolong jangan korbanin kepentingan lain, dong!"
Septian mengernyit tak mengerti.
"Udah. Nggak usah pura-pura lagi. Kamu suka kan sama Irana? Kamu emang sengajakan kemarin nahan kami biar nggak pergi? Karena nggak mau Irana jalan sama Kak Evan? Terus kamu ngebatalin lomba cuma gara-gara hal kemarin? Ini sebagai bentuk aksi protesmu?"
Septian memucat. Kedua rahangnya terkatup rapat menahan amarah. Ia membuang muka.
"Itu namanya egois! Nggak profesional! Kamu mempertaruhkan mimpi banyak orang, mimpi anak-anak ekskul KIR, mimpi kami, mimpi Irana juga, hanya untuk kepentinganmu sendiri!" Aku berkata menggebu-gebu tak tahan. Baru saja hendak pergi, aku kembali menoleh padanya.
"Bukan seperti ini caranya mendapatkan perempuan, Sep! Carilah cara yang lebih mengagumkan!" Oke. Sudah cukup. Aku menarik napas jengah, pergi meninggalkannya.
Irana dari tadi terus-terusan lesu. Ia bahkan tidak memakan siomaynya. Niva menenggol sikuku. Seperti menyuruh agar aku melakukan sesuatu.
"Udah, Na. Aku yakin, si Asep nggak bakal serius batalin. Kita tunggu aja sampai marahnya reda," ucapku. Setengah bersalah juga. Karena kemarin, aku yang memaksa ia untuk ikut denganku. Irana hanya mengangguk. Tapi mukanya tetap muram.
Aku merasa lelah seharian. Saat kulihat whatsapp, tak kulihat satu pun pesan dari Ryuji. Ke mana dia? Aku merasa rindu. Kumencoba telpon tapi nggak diangkat. Hmm .... Kuputuskan untuk menunggu saja. Tapi tidak biasanya dia telat. Ryuji adalah orang paling tepat waktu yang pernah kutemui. 15 menit sudah kumenunggu. Tapi dia tak juga tiba. Sampai kulihat sebuah motor. Tapi ini bukan dia. Kak Hans!
KAMU SEDANG MEMBACA
Parcel Boneka Berdarah
Novela Juvenil-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan.- Ada sepuluh nyawa. Ada sepuluh boneka ayam. Ada sepuluh lagu kematian. Alenta dan teman-teman berusaha mengungkap kasus pembunuhan anak-anak senat di...