"Tangannya dingin. Sakit?" Aku menggeleng kaku. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu gugup di dekatnya. Ia memakaikan jaket padaku.
Lalu mengajak menuju ruang senat.
Ryuji menyuruhku menunggu di bangku panjang tak jauh dari ruang senat. Selama menunggu, aku mengirimkan foto-foto hasil jepretanku pada Irana. Menjelaskan kronologinya.
-Kamu di sana?-
-Iya. Ternyata, S nya itu Sera. Bukan Satria. Aku lega-
-Syukurlah. Tapi mengerikan juga liat caranya mati-
-Na, nama selanjutnya siapa?-
-Inisial E-
-Wah kayaknya kita harus segera melakukan pencegahan deh. Sebelum mereka semua mati!-
-Gimana caranya?-
-Coba data siapa saja nama-nama anak senat yang berinisial E-
Irana tak membalas chatku. Terlihat tanda read di sana. Aku menunggu sekitar dua menit sampai ada balasannya.
-Ada 5 orang yang berinisial E. Elina Fatmala, Ezra Walian, Eni Agustin, Ronald Elando, Ergianto Erwin-
-Ronald Elando? Itu bukan E, Na. Tapi R-
-Siapa tau, kan? Coba tanya ke Kak Ryuji. Ronald biasanya dipanggil Elan ato dipanggil Ronald? Soalnya. Inisial ini kalo diliat dari korban-korban sebelumnya, diambil dari nick name. Bukan hanya nama depan.-
Ada benarnya juga. Aku mengangguk memahami pemikiran Irana.
"Hey! Serius amat?" Tahu-tahu Ryuji duduk di sisiku. Mendadak aku disergap rasa kikuk lagi.
"Udah?"
"Iya." Wajahnya tampak lelah.
"Apa bazarnya masih akan tetap dijalankan, Kak?"
Ryuji mengangguk. "Kita harus tetap menjalankan walaupun dengan suasana duka. Semua harus berjalan sesuai rencana." Ryuji memandangku. Yang membuat aku segera menunduk. Duh, aku merasa benar-benar sangat aneh. Aku kemudian menunjukkan nama-nama anak senat dengan inisial E.
"Aku yakin. Salah satu target ada di sini. Kita harus mencegahnya. Sebelum mereka semua mati!" Aku merasa tegang sendiri berbicara begini.
"Ronald Elando itu biasanya dipanggil siapa?"
"Kenapa tanya dia?" Nada bicaranya tak senang.
"Roland atau Elan? Kalo Elan. Kemungkinan dia salah satu target," jelasku. Dia hanya membulatkan bibir.
"Hahaha. Aku pikir dia mengganggumu atau apa." Ryuji nyengir. "Ronald," jawabnya. Aku menarik napas lega.
"Berarti bukan dia. Hanya ada 4 terduga calon target. Kak, kayaknya kita harus kasih tau mereka untuk hati-hati. Mungkin kita bisa bicara dengan mereka?" Ryuji menatapku. Beranjak ngeloyor ke ruang senat.
"Wah, mereka pada pulang!" infonya begitu sampai di depanku.
"Nanti aku SMS satu-satu, biar mereka hati-hati. Terus, besok kita kumpulkan mereka. Kasih tau," aku mengangguk setuju. Ia mengantarku pulang.
***
Suasana rumah jadi tak nyaman. Aku melihat Kak Hans tengah duduk di ruang tamu gitaran. Sedang Kak Satria lagi tidur. Aku salut dengan kesetiakawanannya pada Kak Satria. Tapi, aku juga masih tidak ingin berbicara terlalu banyak dengannya.
"Lagi apa sih?" Tahu-tahu dia berdiri di dekatku.
"Baca."
"Yakin? Bukunya ke balik lho!"
Bodoh! Aku tak henti mengutuk diri. Ini memalukan!
"Memangnya kenapa? Emang sengaja, kok. Ini cara membaca antimaenstrem," kututup buku itu, beranjak. Tapi dia menahanku dengan kalimatnya.
"Sekarang aku tau, kenapa kamu bertingkah seperti ini. Kamu gugupkan? Atau?" Suaranya terdengar sedikit tengil. Oh! Bahkan aku tidak pernah mendengar kalimatnya yang seperti ini.
"Terlalu deg-deg-an?"
Aku berdiri kaku. Ingin melarikan diri.
"Ta, kenapa kamu harus hidup dalam kepura-puraan ini? Ryuji akan merasa sakit jika tau yang sebenarnya."
Kalimatnya sangat memukul ulu hatiku. Aku berusaha menahan diri.
"Terus maksud Kakak?" Aku bicara tanpa melihatnya. "Aku harus memutuskannya? Begitu?" sungutku. Nyaris berteriak.
"Apa kamu tidak kasihan pada Ryuji?"
Aku terdiam. Kurasakan panas mengalir di mata. Bahkan aku sekarang bingung. Yang mana yang harus kuambil.
"Ta, aku akan tetap menunggumu!"
Oh God! Dia bicara apa lagi. Aku berlari meninggalkannya tidak mau mendengarkan.
"Kenapa kamu harus menyiksa diri? Membuat orang lain terluka? Melibatkan Ryuji?"
Di tangga aku berhenti. Menoleh padanya dan berteriak. "Diam!"
Aku terus menaiki tangga. Kulihat bibi melongok seperti ingin tahu apa yang terjadi pada kami, meski tak berani bertanya.
Aku menghambur ke kamar, tak tahan. Menangis sejadi-jadinya.
Untuk apa berpura-pura bertahan? Jika itu hanya membuat sakit?
Pemikiran semacam itu terus terngiang-ngiang dalam benakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parcel Boneka Berdarah
Roman pour Adolescents-Tek kotek kotek kotek. Anak senat ada sepuluh. Tek kotek kotek kotek. Mati satu tinggal sembilan.- Ada sepuluh nyawa. Ada sepuluh boneka ayam. Ada sepuluh lagu kematian. Alenta dan teman-teman berusaha mengungkap kasus pembunuhan anak-anak senat di...