KAMI ADALAH "CILUK BAA"!

127 8 1
                                    

"Oh, ya?" Calista menatap sinis. Sedikit merendahkan.

"Iya. Dan perkenalkan. Kami adalah ...." Niva berpikir keras.

"Ciluk Baa. Itu nama kelompok kami." Ciluk Baa? Aku mati-matian menahan tawa. Bukan cuma aku. Kulihat Irana menutup mulut saking syocknya. Aku tahu, dia pasti tidak tahan tertawa. Septian mengernyit aneh.

"Apa? Ciluk Baa?" Calista dan teman-temannya tertawa geli. Tawa yang rapi. Seperti sengaja ditata. Bahkan terlihat cantik sekali.

"Memangnya kenapa? Ciluk Baa adalah kelompok bermain sekaligus belajar. Kami memiliki banyak kegiatan bermanfaat lainnya. Selain hanya untuk bercanda. Yang jelas, tidak ada kegiatan yang membuang-buang waktu. Seperti nyalon, shopping, clubbing dan lainnya." Niva berkata setengah menyindir. Satu julukan lagi untuk Calista. Dia dikenal sebagai Ratu Clubbing. Dan mencantumkan kegiatan itu sebagai daftar wajib untuk anak-anak Starlight.

"Kamu!" Calista tersulut emosi. Stella dan Carol buru-buru menahannya.

"Nggak kelas banget. Jangan diladenin, Cal!" ujar Stella menarik mundur. Gadis dengan rambut pirang lurus. Dia masih memiliki darah Belanda.

Carol yang memiliki rambut pendek dan diwarna gradasi merah, turut menahan Calista dengan tatapan nyalang.

"Sana pergi! Hus! Hus! Lagian siapa juga yang mau ladenin cewek-cewek dangkal itu!" sungut Niva kembali duduk.

"Dasar Trio Uget-Uget!" dengusnya.

'Trio Uget-Uget' adalah istilah Niva yang ia gunakan untuk menyebut anak-anak Starlight. Uget-uget alias jentik-jentik atau bayi nyamuk yang tinggal di air dan selalu mengeliat-geliat. Dalam artian tidak bisa diam garis miring banyak tingkah. Jadi anak-anak Starlight adalah anak-anak yang banyak tingkah.

"Va, serius? Nama grup kita Ciluk Baa?" Akhirnya tawaku jebol. Disusul Irana yang masih tampak malu-malu. Aku tahu ini di kantin. Irana tidak suka dirinya menjadi perhatian. Sebisa mungkin menyamarkan diri dan tidak mencolok di depan yang lain. Itu yang membuatnya kurang dikenal. Rambut yang selalu dikuncir kuda, dengan poni panjang. Ketika berjalan, dia juga lebih sering menunduk. Meski dia berusaha mati-matian agar tidak menarik perhatian, tapi nama Jung yang melekat padanya, begitu berpengaruh dan membuat orang-orang pada penasaran. Jika di sekolah mereka, ada keturunan Jung.

"Iya. Kenapa? Bagus, kan?"

Septian hanya menggeleng-geleng. Aku tergelak.

"Sangat menarik. Aku sukaaa!" setujuku.

"Sep! Sep! Asep! Kamu gimana?" tanyaku.

"Keren juga, Alien. Aku tidak keberatan." Septian sok sibuk dengan buku yang dipegangnya. Huh! Dasar sok rajin. Tapi memang kelewat rajin. Aslinya sih wajah Septian lumayan juga. Cuma, dia terlalu serius menjalani hidup. Bahkan aku sempat membayangkan kalau Septian akan lebih cepat tua daripada usianya. Kelebihannya adalah serius. Kekurangannya juga serius. Dia terlalu kaku dan tidak asyik diajak bercanda. Diajak berantem, lebih cocok.

"Kamu, Ir?" Kali ini Niva yang bertanya.

"Kereen! Sedikit tengil, juga." Ia masih berusaha menahan tawa.

"Eh tapi, aku nggak asal lho ngasih nama Ciluk Baa itu." Niva menjelaskan.

"Ada filosofinya?" Irana bertanya ingin tahu. Menyimak lamat-lamat setiap gerakan bibir Niva.

"Tentu! Kalau Starlight bilang 'Kamu akan bersinar bersama kami'. Ciluk Baa ... Pasti ada cahaya setelah kegelapan. Pasti ada jalan keluar dari masalah. Pasti ada titik terang dari sebuah kasus." Untuk kali ini kami sama-sama bengong. Niva berkata serius. Memberikan nada dramatis di kalimatnya. Seolah kami adalah agen rahasia yang sedang membicarakan kasus dan butuh pengungkapan.

"Wow! Menakjubkan. Aku memahaminya, Va!" Irana berkata antusias. Memecah ketegangan di antara kami.

"Saat kita berkata Ciluk, kondisi mata terpejam dengan ditutup kedua telapak tangan. Itu kan yang kamu maksud dengan kegelapan? Lalu saat kita berkata Baa, kita membukanya dan melihat. Dan itulah cahayanya. Jalan keluar. Kita membawa kegelapan ke jalan terang benderang?" Mata Irana berkilat-kilat. Begitu ceria dan antusias. Dan untuk pertama kalinya, kusaksikan ia berbicara begitu panjang. Lalu aku memecah dengan tawa yang panjang. Sampai mereka menatapku terheran.

"Kenapa?" Irana menatap risih. Aku segera bungkam. Takutnya ia menyangka aku menertawakan perkataannya.

"Enggak. Jadi keinget gubahan yang ditulis R.A. Kartini. Habis Gelap Terbitlah Terang." Aku terkekeh lagi. Tapi tak ada yang tertawa melihatku.

"Ups! Sorry. Nggak lucu, ya?" Aku menggaruk kepala bodoh. Mringis.

"Kenapa mukanya pada kayak zombie gini, sih?" Aku merasa terpojok sekaligus tertohok.

"Alenta! Kita sedang membicarakan hal yang serius." sembur Niva. Aku berusaha menahan tawa. Mengangguk mengiyakan.

"Kalian tau? Dari kecil aku pernah berangan-angan punya tim detektif. Lalu aku berpetualang bersama mereka memecahkan kasus-kasus. Hidupku selama ini standar. Sangat membosankan. Apa-apa dengan mudahnya kudapat. Aku ingin tantangan," ujar Irana, curhat.

"Mungkin kita bisa mewujudkan impianmu?" cetus Niva, ngawur.

Parcel Boneka BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang