Modus #17: Krisan

37.2K 3.7K 1K
                                    

Sosok itu duduk di dekat jendela. Tatapannya jatuh pada seorang cowok yang berada di lapangan sekolah, sedang berlari melakukan pemanasan. Melihat cowok itu membuat sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.

Ghazi Airlangga, ia menyebut nama cowok itu di dalam hati. Lalu perasaan hangat itu pun muncul memenuhi dada. Menyebut nama cowok itu saja mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Melihat cowok itu dari jauh pun membuat dirinya diliputi kebahagiaan.

"Ngapain lo senyum-senyum sendiri gitu?" Tiba-tiba teman sebangkunya bertanya dengan kening berkerut.

Ia tersentak lalu buru-buru menggeleng. Namun ia bisa merasakan wajahnya memanas. Tanpa perlu bercermin, ia yakin saat ini pasti wajahnya sudah memerah.

"Siapa yang tersenyum coba?" sangkalnya.

"Mata gue masih normal kali. Dari tadi ngeliat lo senyum-senyum sendiri sambil liat keluar."

"Lo pasti salah liat."

Teman sebangkunya itu menatapnya tanpa berkedip, lalu menghela napas, "Ya udahlah. Nggak usah dibahas." Lalu teman sebangkunya itu kembali mengerjakan latihan.

Sementara ia pun mengembuskan napas lega. Untuk saat ini, ia belum siap membagi cerita tentang perasaannya pada siapa pun. Saat ini ia masih ingin menyimpannya seorang diri. Ia ingin perasaannya itu menjadi rahasia bagi dirinya sendiri.

Perasaan bahwa ia menyukai cowok bernama Ghazi Airlangga.

***

Mobil Gailan berhenti di depan kedai. Lalu, Gailan mematikan mesin mobil dan mengajak Joya turun. Joya mengangguk dan tersenyum lebar. Hari ini hatinya berbunga-bunga karena Gailan mengajak kencan untuk pertama kalinya.

Joya menatap kedai di depannya itu dan menemukan papan nama di atas pintu masuk bertuliskan 'Purple' dengan hiasan neon warna-warni yang menyala. Pintunya terbuat dari kaca transparan dan diapit oleh dua pohon palem dalam pot di kanan-kiri.

"Ayo masuk!" ajak Gailan.

Saat masuk ke dalam, Joya akhirnya tahu kenapa kedai ini diberi nama Purple. Mata Joya langsung disambut oleh berbagai dinding yang dicat warna ungu. Di dalam, Joya juga melihat beberapa baris sofa berkulit ungu dengan dudukan mengelupas di sana-sini, mengapit meja-meja kayu. Lantainya terbuat dari ubin keramik bermotif kotak-kotak berwarna putih-hitam, seperti papan catur. Namun yang membuat Joya menyukai kedai ini adalah lagu-lagu oldies yang diputar. Membuat Joya merasa berada masa lampau.

"Aku suka kedai ini," kata Joya dengan senyum lebar setelah mereka duduk di bangku dekat jendela.

Gailan ikut tersenyum. "Berarti gue tepat dong ngajak lo ke sini."

Joya mengangguk. "Tapi, Kak, boleh nggak aku minta sesuatu?"

Gailan menatap Joya dengan mata menyipit, beberapa saat kemudian ia berkata, "Asal jangan yang aneh-aneh dan melanggar hukum, ya. Gue nggak mau hidup dalam kurungan." Setelah mengatakan itu Gailan terkekeh pelan.

Obrolan mereka terhenti ketika seorang pramusaji berkemeja ungu dengan celemek warna hitam menghampiri mereka sambil memberikan buku menu dan menanyakan pesanan.

"Mau pesan apa?" tanya Gailan tanpa membuka buku menu di depannya.

"Bingung, nih. Kayaknya semuanya enak. Kak Ilan aja yang milih, deh. Aku ngikut aja."

MODUS [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang