Bonus #3: Berbaikan

37.9K 4K 518
                                    

Ghazi memeluk Didi erat. Matanya menatap bohlam yang menyala di langit-langit kamar. Cowok itu memejamkan mata, kemudian menghela napas berat.

"Apa gue yang salah, ya, Di?" tanya Ghazi sambil mengangkat Didi tinggi-tinggi dengan tangannya. "Emang gue akui, omongan gue malam itu keterlaluan. Tapi, itu karena gue kesal."

Hening sesaat. Yang terdengar hanya suara tik-tik-tik dari jarum jam. Sekali lagi Ghazi menghela napas berat. Kemudian menggoyang-goyangkan Didi.

"Gue harus gimana, Di?"

Begitulah Ghazi. Setiap kali ditimpa masalah, ia lebih sering curhat pada Didi atau diarinya. Karena diarinya masih disandera si cewek cebol, satu-satunya teman yang bisa jadi 'tong sampah' Ghazi hanyalah boneka beruang kesayangannya, Didi.

"Dua hari ini gue merasa nggak tenang, Zi. Setiap pagi suasana di dalam mobil itu dingin banget. Ngalahin Antartika. Gailan nggak ngomong apa-apa sama gue. Bahkan negur pun nggak. Padahal, kan, lo tau sendiri dia itu usilnya nomor satu!"

Kini posisi Ghazi sudah berubah, tak lagi terlentang. Ghazi kini tidur dengan posisi tertelungkup dan Didi didudukkan di atas bantal dan bersandar pada kepala ranjang. Dagu Ghazi berada di atas tangannya yang terlipat.

"Kasih gue solusi dong, Di. Jangan diem mulu!"

Tok-tok-tok!

Suara ketukan pintu membuat sesi curhat Ghazi kepada Didi terhenti. Cowok itu menoleh ke arah pintu dan berteriak, "Masuk aja. Nggak dikunci."

Setelah mengatakan itu terdengar bunyi klik saat pegangan pintu bergerak. Kemudian pintu terbuka, dan kepala Gailan menyembul.

"Lo belum tidur?"

Tentu saja kehadiran Gailan membuat Ghazi terkejut. Ia pikir tadi itu mamanya. Tapi, yang muncul adalah orang yang beberapa hari ini mengabaikannya.

"Belum," sahut Ghazi. "Kenapa?"

Gailan melangkah masuk. Lalu mengangkat kantong di tangan kanannya. "Gue bawain martabak telor kesukaan lo, nih. Kebetulan pulang dari Gandaria tadi gue lewat sana, dan gue ingat lo. Makanya gue beliin."

Ghazi diam. Tak mampu berkata-kata. Matanya mulai terasa panas dan perih. Rasanya mau menangis. Tapi, ia gengsi.

"Lo masih marah?" tanya Gailan.

Ghazi menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng lemah. Kemarin ia memang kesal dengan abangnya itu. Tapi setelah dicuekin beberapa hari ini, rasa kesal itu digantikan oleh rasa bersalah.

"Atau lo nggak suka gue bawain martabak telor?"

"Sejak kapan gue nggak suka martabak telor, ha?" Akhirnya Ghazi menyahut juga. Membuat seulas senyum hinggap di bibir Gailan.

Kemudian Gailan mendekat pada Ghazi dan menjatuhkan tubuhnya di samping adiknya itu. Diletakkannya kantong berisi martabak telor di atas meja nakas di samping ranjang, lalu diacaknya rambut Ghazi.

"Nyuekin lo dua hari rasanya kayak di neraka," aku Gailan. "Gue nggak bisa jailin lo. Nggak bisa ketawa liat lo cemberut."

Ghazi menunduk. Rasa panas dan perih kian menyerang matanya.

"Gue kangen lo!" kata Gailan kemudian. Kali ini terdengar tulus dan serius.

Saat Ghazi menoleh kepada Gailan, ia melihat kejujuran di mata abangnya itu. Seketika dada Ghazi terasa dipilin-pilin. Rasa bersalah kian membesar seperti gelembung yang ditiup terus-menerus. Dan ... tak butuh waktu lama, rasa bersalah itu pecah dan membuat mata Ghazi berkaca-kaca.

"Gue minta maaf," kata Ghazi kemudian dengan kepala tertunduk. Ia tidak berani menatap Gailan. Kini Ghazi malah memainkan Didi. Telunjuknya bergerak melingkar, seakan menggelitik perut boneka beruang tersebut.

Gailan lalu meletakkan tangan kanannya di bahu Ghazi, dan merangkul adiknya itu. Ditepuknya bahu Ghazi dan berkata, "Gue udah maafin lo, kok. Gue tahu lo cuma lagi pusing waktu itu. Gue juga mau minta maaf karena ikut terpancing. Seharusnya sebagai abang gue ngertiin lo. Bukannya balik marah dan nyuekin lo dua hari."

Ghazi menggeleng. "Lo pantas marah, kok. Omongan gue emang keterlaluan. Gue juga pantas lo cuekin. Gue emang adik yang nggak tau diri."

Gailan semakin mengeratkan rengkuhannya. "Lo salah, Zi. Lo bukan adik gue yang nggak tau diri. Tapi, lo adik gue satu-satunya dan paling gue sayang."

Ghazi mendengus. "Apaan, sih, lo. Lebay banget!" Meski begitu, Ghazi tersentuh mendengarnya. Ia juga tahu Gailan bener-benar sayang padanya.

Ghazi jadi ingat kejadian waktu mereka kecil. Waktu itu di luar sedang hujan. Mereka memutuskan bermain petak umpet di dalam rumah. Gailan kebagian tugas berjaga, dan Ghazi bersembunyi. Gailan menutup mata dan mulai berhitung. Ghazi kecil pun berlari mencari tempat persembunyian. Hitungan Gailan makin mendekati angka seratus. Tapi, Ghazi belum mendapatkan posisi yang pas untuk bersembunyi.

Saat hitungan memasuki angka delapan puluhan, Ghazi melihat sedikit celah di balik guci besar. Kalo dia jongkok di balik guci itu, pasti tidak akan terlihat. Ghazi pun memutuskan untuk bersembunyi di sana. Karena hitungan sudah mencapai angka sembilan puluh, Ghazi lari terburu-buru. Sikunya menyengol guci. Dalam sekejap Guci itu tumbang dan pecah berantakan.

Gailan yang mendengar suara barang pecah, membuka matanya. Lalu dia berlari mendekati Ghazi.

"Kamu nggak apa-apa?"

Ghazi menggeleng. Tapi, tangannya menunjuk pada guci yang tak berbentuk lagi. "Mama pasti marah," katanya dengan suara serak ingin menangis.

Gailan memegang bahu Ghazi, membuat mata mereka bertatapan. Lalu, Gailan berkata, "Kamu nggak perlu takut. Nanti biar Abang yang bicara sama Mama. Kamu diam aja."

Tak lama kemudian Mama turun ke bawah. Ia terkejut menemukan ruang keluarga berantakan dan dipenuhi pecahan guci. Wajah Mama memerah menahan marah. Sebab guci yang pecah itu adalah guci kesayangannya.

Ghazi tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari dimana untuk pertama kalinya ia tahu bahwa Gailan adalah abang yang melindunginya. Gailan mengatakan pada Mama kalau guci itu pecah karenanya. Gailan mendapat hukuman dari Mama. Gailan tidak dikasih uang jajan selama seminggu. Kata Mama itu sebagai tanggung jawab karena sudah berbuat kesalahan.

"Diajak ngomong malah ngelamun. Kesambet jin ntar baru tau rasa lo!" seru Gailan sambil menyentil dahi Ghazi.

Ghazi mengusap dahinya dan meringis. Ternyata sampai detik ini pun ia tidak pernah melupakan hari itu.

"Ngelamunin apa, hm?"

Ghazi menggeleng. "Lo nggak perlu tau. Dasar kepo!"

"Yaudah, buruan lo makan, nih. Ntar keburu nggak enak."

Ghazi mengangguk. Lalu Gailan berdiri dan menepuk bahu Ghazi.

"Gue balik ke kamar. Mau istirahat."

Setelah itu, Gailan melangkah pergi. Tapi, saat di depan pintu, ia menolah karena teringat satu hal yang harus ia katakan pada Ghazi.

"Zi, lo nggak perlu iri dengan gue. Hidup lo lebih baik daripada gue. Asal lo tau, gue malah iri dengan lo. Seandainya bisa memilih, gue pasti ingin terlahir jadi lo aja. Sayangnya, kita nggak bisa memilih, kan?"

Ghazi mengerjap. Bingung dengan perkataaan Gailan. Kenapa pula abangnya yang hampir bisa dikatakan sempurna hidupnya itu iri kepadanya?

"Kenapa lo iri?"

Gailan tersenyum tipis. Lalu, ia mendongak. "Di sukai banyak orang itu nggak selamanya menyenangkan. Sebab ada banyak harapan yang orang-orang bebankan di pundak lo. Satu hal lagi, semakin banyak yang suka lo, akan berbanding lurus dengan orang yang juga membenci lo. Meski nggak tahu salah lo dimana." Gailan menghela napas. "Karena itu gue iri dengan lo. Sebab lo nggak perlu membawa beban siapapun di pundak lo."

Setelah mengatakan itu, Gailan berbalik dan melangkah pergi. Sementara Ghazi tak bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk Gailan. Ghazi hanya menatap punggung Gailan yang menjauh. Untuk pertama kalinya Ghazi melihat, ada beban yang tersandang di punggung abangnya itu.

***

MODUS [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang