Hal pertama yang dirasakan Ghazi ketika melihat Joya tersungkur di lantai adalah hantaman rasa bersalah. Ia bisa melihat cewek itu kesakitan. Ghazi ingin mendekati cewek tersebut, tapi teriakan Gailan membuat gerakannya terhenti.
"Kamu nggak apa-apa?" Gailan bertanya dengan kekhawatiran yang begitu jelas terasa.
Ghazi meraup napas sebanyak-banyaknya, lalu membuangnya dengan kasar. Pemandangan Gailan yang menolong Joya, memunculkan perasaan tidak suka. Namun, Ghazi lebih tidak suka pada dirinya saat ini. Sebab dirinyalah yang telah membuat Joya jatuh tersungkur, dan ia tidak punya keberanian untuk menolong Joya.
Berbagai perasaan bergumul di dada Ghazi, membuatnya sesak. Pada akhirnya, Ghazi memilih menyingkir dari sana. Lebih baik ia menjauh, daripada ia lepas kendali dan menyakiti Joya lebih jauh.
Ghazi berbalik. Sebelum pergi ia sempat menoleh, dan rasa bersalah kembali menghantam dadanya tanpa ampun. Ghazi mengepalkan tangan, lalu melangkahkan kakinya yang terasa begitu berat.
Sungguh, Ghazi ingin percaya kalau bukan Joya yang membongkar rahasia. Tapi masalahnya, selain keluarganya hanya Joya yang tahu perihal ini.
***
"Lo nggak seharusnya sekasar itu sama Joya," kata Gailan kepada Ghazi. Sore itu mereka sedang duduk di teras rumah.
Ghazi menunduk, lalu menghela napas panjang. Tapi, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya terlalu rumit untuk memilih kata-kata yang pas untuk merespons ucapan Gailan.
"Joya udah cerita ke gue. Semuanya. Mengenai awal dia nemuin diari lo di perpustakaan dan mengetahui rahasia itu. Lagipula lo nggak nulis macam-macam kan di diari?"
Ghazi menggeleng. Ia memang pernah beberapa kali bercerita tentang boneka beruang kesayangannya di diari, tapi tidak pernah menuliskan nama Didi. Selebihnya hanya kesehariannya dan beberapa hal tentang Hazel.
"Oke, gue mau jujur sama lo. Beberapa hari lalu gue keceplosan cerita soal Didi ke Joya. Gue pikir Joya nggak tahu sama sekali. Waktu itu gue minta Joya buat ngerahasiain ini, dan ia menyetujuinya. Gue rasa Joya bukan orang yang bakal memberitahu rahasia ini ke banyak orang."
"Tapi kenyataannya satu sekolah sekarang udah tahu." Akhirnya Ghazi bersuara juga.
"Iya gue tau. Tapi, lo nggak bisa nuduh Joya begitu aja. Memang, selain keluarga, cuma Joya yang tau rahasia ini. Tapi, bukan berarti itu cukup sebagai bukti kalo Joya pelakunya."
"Terus siapa pelakunya?"
Gailan menggeleng. Ia pun tidak tahu. "Entahlah," katanya kemudian. "Tapi yang pasti bukan Joya. Hati gue yang bilang gitu."
Ghazi tertawa getir. "Hati lo yang bilang begitu? Apa ini karena lo mulai suka sama Joya?"
Gailan mengangguk. "Menyukai seseorang berarti lo harus memercayainya juga. Karena menyukai tanpa memercayai sama saja dengan omong kosong. Lo nggak bakal bisa suka sama orang yang tidak lo percayai."
Ghazi terdiam. Merenungi setiap kata-kata Gailan.
Lalu Gailan berdiri, menepuk bahu Ghazi dan meremasnya. "Gue akan cari siapa pelakunya. Buat ngebuktiin ke lo kalo hati gue benar. Joya bukan pelakunya."
Setelah mengatakan itu Gailan mengacak rambut Ghazi, lalu pergi meninggalkan adiknya itu.
Ghazi mendongak, menatap langit yang saat itu mulai menjingga. Matahari condong ke arah barat. Semburatnya membuat langit terlihat menawan. Ghazi menghela napas. Langit cantik senja itu berbanding terbalik dengan suasana hatinya.
***
Keesokan harinya Joya datang pagi-pagi. Ia sudah berdiri di parkiran. Menunggu Ghazi. Mereka harus bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MODUS [Sudah Terbit]
Ficção Adolescente[Sudah Terbit] "Gue pasti bisa bikin lo jatuh hati sama gue. Liat aja nanti!" Hidup Ghazi Airlangga berada di ujung tanduk saat rahasia memalukannya diketahui Joya Pradipta. Untuk menyumpal mulut ember cewek rese itu, Ghazi terpaksa menjadi mak comb...