Chapter 2 : Blind Date

1.3K 114 21
                                    

Apa yang dikatakan oleh bibi bukanlah hal yang salah, semuanya kenyataan. Hal itu perlu digaris bawahi sehingga keluargaku tidak perlu menguras tenaga mereka mencaci kembali keadaan bibi yang serba kekurangan. Bibiku adalah orang yang dianggap paling ajaib di keluarga kami, dia merasa dirinya adalah orang paling suci di dunia ini. Sehingga dia bisa memaki orang lain dan menceramahinya tanpa henti. Sedangkan kami yang diangapnya adalah orang berdosa harus diam dan mematuhi segala perintahnya.

Hari ini ibuku harus kembali mengelus dadanya, karena pada pagi yang cerah di kediaman kami sudah kedatangan orang paling suci di dunia. Dia bahkan menyuruhku mengunci diri dikamar sehingga aku tak perlu mendengarkan ocehan orang yang menyebalkan itu. Belum lagi anaknya yang dibangga-banggakannya itu juga datang.

“Dia bilang Yu Jin akan menikah tahun ini !” Informasi itu berhasil ku curi dengar dari balik tembok kamarku yang kebetulan bersebelahan langsung dengan dapur. Suara itu bisa kukenali dengan jelas, dia adalah nyonya Kim yang merupakan asisten rumah tangga di rumah ini, dan sepertinya saat ini dia tengah berbicara dengan suaminya yang juga bekerja sebagai supir di keluarga kami. Itu artinya aku akan mendapatkan satu lagi ceramah panjang yang akan aku dengarkan setelah pernikahan itu berlangsung. Yu Jin merupakan putri bungsu bibi, parasnya yang cantik membuatnya menjadi idola saat masa-masa sekolah dulu, jadi kupikir wajar saja jika ada orang yang meminangnya dengan cepat seperti ini. Tapi sepertinya bibiku tidak berpikir seperti itu, dia selalu bilang aku yang hanya lebih tua dua tahun dari Yu Jin harus menikah terlebih dahulu darinya.

“Tidak boleh ada perawan tua di keluarga kami !” Dia berkata seperti itu seolah-olah dia yang bertanggung jawab atas keluargaku. Dan lagi-lagi semua yang dikatakan bibi merupakan sindiran bagiku, jika bicara tentang diriku, bicara tentang hal-hal yang berhubungan denganku, aku adalah orang yang hidupnya paling berantakan. Saat ini yang aku pikirkan adalah aku hidup untuk diriku saja. Aku membuang jauh-jauh pikiran berkencan ataupun menikah dari kamusku.

Kemarin saat aku pulang kerumah dalam kondisi mabuk, dengan menendang-nendang pagar rumah aku berteriak memaki bibi yang menyebalkan itu. Dia bukanlah ibuku, tapi kenapa dia sibuk sekali mengurusi kehidupan orang. Umurnya sudah cukup tua untuk dirinya berpikir tentang kematian. Seharusnya dia lebih mendekatkan diri pada Tuhan daripada mengusik hal-hal yang tidak penting dan pada akhirnya menyangkut tentang diriku. Aku masih ingat dengan jelas raut wajah ibu saat menemukanku terkapar di luar rumah, prihatin dan sedih. Aku yakin saat itu ibu mengutuk dirinya sendiri setelah melihat keadaanku yang tak karuan. Dadaku berdesir mendengar isakan ibu ketika dia berhasil membawaku ke tempat tidur, suara ayah yang menggelegar bagaikan petir saat memarahi ibu menakuti diriku.

“Biarkan dia tidur !” kata ibuku.

Suara pintu yang tertutup, membuatku membuka mata mengintip dari balik selimut memastikan kedua orang tuaku telah keluar. Aku terdiam sesaat, lalu meraih ponsel yang ada di sampingku. Pukul dua pagi, pantas saja jika ayah sampai marah, melihat anak gadisnya yang bekerja lembur saja sudah membuatnya naik darah apalagi apa yang ku lakukan hari ini. Pulang dengan kondisi tak sadarkan diri. Aku membenamkan wajahku ke bantal, dan menunggu sampai air mataku keluar. Hatiku terasa sangat sakit, apalagi mengingat ibu yang selalu mengatakan padaku bahwa semua yang telah terjadi adalah kesalahannya. Aku berubah seperti ini adalah juga kesalahannya. Jika saja aku mampu memutar kembali waktu, atau jika saja ada lampu ajaib yang dapat mengabulkan permohonan. Aku ingin agar aku tak dilahirkan.

Hari itu, acara sarapan kami berjalan kacau, dan berakhir dengan teriakan ayah yang menyuruh bibi keluar dari rumahnya. Rupanya ayah juga sudah muak dengan semua perkataan bibi, sebelumnya dia tak pernah seperti ini. Ayah hanya akan mengangguk ketika bibi membanding-bandingkan putrinya dengan diriku.

“Oppa ! Jangan datang ke pernikahan Yu Jin !”

Wajah ibu langsung mengerut mendengar ucapan lugas dari perempuan yang lebih muda satu tahun dibawahnya itu. Sedangkan ayah kini menggenggam dengan erat sumpit seolah tengah meluapkan emosi yang sudah ada di ubun-ubun kepalanya. Alhasil sedetik kemudian, tatapan tajam ayah mengarah padaku.

Healing Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang