Chapter 22 : The Wedding

1.1K 71 41
                                    

D-day

Jam menunjukkan pukul empat tiga puluh sore, sudah hampir tiba waktunya. Aku hanya perlu menunggu beberapa menit lagi sampai Ayah datang dan menuntunku berjalan ke altar. Aku gugup, dan juga cemas. Karena ini akan menjadi pernikahan pertama dan terakhirku bersama dengan pria yang sangat ku cintai, Lee Donghae. Dulu, disaat aku masih hidup di dalam kenangan buruk tentang Siwon aku tidak pernah membayangkan diriku dapat berjalan di atas altar bersama Ayahku dan mengikat janji suci bersama seorang pria seperti yang dilakukan oleh teman-temanku. Jangankan membayangkan tentang pernikahan, membayangkan berkencan dengan laki-laki saja aku sudah takut. Ini sungguh di luar dugaan. Lee Donghae hadir menggantikan posisi Choi Siwon di dalam hatiku, mengajarkanku bagaimana indahnya suatu hubungan. Aku pernah membaca sebuah kutipan di sebuah buku di mana disana tertulis bahwa pertama, seseorang yang bisa mencintai hanyalah seseorang yang pernah dicintai. Lalu yang kedua, seseorang yang bisa memaafkan hanyalah seseorang yang pernah dimaafkan.

Aku mempelajari perkataan itu saat Donghae mengisi hari-hari kelamku menggantinya dengan senyum dan tawa bahagia. Aku juga belajar memaafkan Siwon dan mencoba melupakan segalanya, lalu belajar mencintai dan dicintai oleh Donghae. Orang bilang cinta adalah sumber kebahagiaan, sepertinya aku memahami hal itu dengan baik sekarang. Aku bahagia, sangat bahagia.

Saat aku sibuk dengan semua pemikiranku, seseorang datang mengetuk pintu ruang tunggu. Itu adalah Ibu. Ku lihat Ibu yang sedang bersandar di pintu menatapku dengan manik matanya yang berkaca-kaca haru tidak lupa dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya, lalu mengangkat kedua ibu jarinya ke udara mengomentari penampilanku. Aku tersenyum simpul lalu tanpa sadar air mata keluar dari pelupuk mataku, aku merasakan perasaan yang aneh ketika melihat Ibu. Aku merasa bahagia sekaligus sedih, perasaanku campur aduk menjadi satu.

Ibu yang menyadari tangisanku langsung berhambur ke arahku dan memeluk tubuhku yang bergetar. Lalu kami menangis bersama. Ini sama seperti saat dulu aku menyadari telah mencintai Donghae. Karena dulu aku merasa rapuh dan tidak tahu harus berbuat apa, aku yang tidak bisa melawan keputusan Ayah dengan perkataannya yang seperti sebuah sabda menangis meraung-raung di dalam pelukan Ibu.

"Sera-ya, jangan menangis! Riasanmu bisa luntur nanti!" ucap Ibu sambil menghapus air mataku dengan menggunakan sapu tangannya.

"Maafkan aku Ibu, dan terima kasih!" jawabku dengan suara mengecil.

"Ehemm!!"

Kami menoleh bersama ketika sosok Ayah datang menghampiri kami. Ayah langsung mengalihkan pandangannya dan dia terlihat menghapus air mata yang jatuh di sudut matanya.

"Ayah menangis?" tanyaku cepat.

Aku bangkit dari tempatku bersama dengan Ibu lalu kami berdua berhambur memeluk Ayah. Ahhh jika seperti ini terus aku jadi tidak ingin menikah. Aku ingin tetap bersama Ayah dan juga Ibu. Ayah tertawa kecil lalu mengecup puncak kepalaku dan Ibu bergantian. Senyum di wajahnya merekah sempurna, aku belum pernah melihat Ayah sebahagia ini. Ayah terima kasih, sudah mempertemukanku dengan Donghae. Itulah yang kuucapkan di dalam hatiku.

"Setelah acara ini selesai, kau harus menjaga dirimu ya. Jangan sampai telat makan, dan juga jaga cucu Ayah baik-baik!" petuah yang Ayah berikan disusul dengan anggukan kepala Ibu yang tersenyum cerah.

"Baiklah Ayah, aku mengerti!" jawabku senang.

Jika bicara tentang kehamilanku aku jadi mengingat kejadian lima hari lalu dimana hari itu Donghae diadili oleh seluruh anggota keluarga, selain kedua orang tuaku disana juga ada Ibu dan Ayahnya, oh iya jangan lupakan Bibiku si manusia paling suci di dunia, serta kedua anak perempuannya. Waktu itu jika saja Donghae mau mendengarkan perkataanku mungkin saat ini dia tidak akan menjadi bulan-bulanan kemarahan Ayah dan Ibuku, dia yang sudah duduk bersimpuh dilantai sejak satu jam yang lalu itu terlihat begitu menyedihkan mendengarkan petuah-petuah yang keluar dari mulut Ayahku tanpa henti. Aku berani bertaruh kakinya saat ini pasti terasa kram. Aku khawatir, tentu saja. Siapa yang tega melihat calon suaminya menderita seperti itu, meskipun aku duduk dengan tenang di dalam pelukan Ibu tetap saja hatiku ini mencemaskannya.

Healing Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang