Masih sama dengan bulan-bulan sebelumnya di setiap libur, Kristen menjalaninya dengan datar. Beberapa usaha dilakukan oleh Karin untuk mengembalikan putrinya, seperti membawanya ke beberapa pastur, pendeta, maupun suster untuk memberi penuturan-penuturan tentang LGBT, mengantar Kristen ke beberapa program meditasi oleh gereja, bahkan mempertemukan kepada pelaku LGBT yang katanya sudah 'sembuh'.
"Percuma, Ma. Bukan kemauan Kristen untuk jadi seperti ini. Dari kecil waktu aku udah kenal temen, aku udah ngerasain itu. Penyimpangan seksualku. Bukan kaya cici itu yang jadi lesbian karna keadaan keluarga. Bahkan masa kecilku selalu bahagia, aku selalu inget momen-momen sama mama, papa, dan Dea. Aku bahagia di keluarga ini, Ma. Tolong... aku capek."
***
"Nggak capek ya dia nungguin mulu di sini. Jadi penasaran gue, pilot mana yang dimaksud cewek itu," kata seorang petugas bandara yang sudah sebulan ini terus melihat perempuan yang katanya sedang menunggu seorang pilot, namun belum juga bertemu.
Audrey, ya, orang itu adalah Audrey. Bukan hal tak biasa lagi melihatnya di sekitaran bandara. Menunggu hingga larut malam dan kembali lagi pada esok hari.
Hari berganti hari dan jam berganti jam tetap dilakukannya menunggu sambil berharap. Hanya satu tujuannya, tidak lain dan tidak bukan adalah Kristen. Manusia yang sudah 10 bulan ini meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kabar.
Tiba-tiba pintu gate kembali terbuka dan dengan cepat Audrey menoleh. Terlihat para penumpang yang baru saja tiba dengan menenteng kopernya.
Hembusan nafasnya keluar begitu saja dengan kasar. Masih dengan arah mata yang sama, keluarlah seorang pilot disertai dengan beberapa pramugari, namun, lagi-lagi bukan Kristen. Kaca mata hitam yang digenggamnya kembali dipakainya dan akhirnya dia memutuskan pergi dari tempat itu. "Capek tau, Kris."
***
"Tante masak apa?"
"Nggak masak hari ini, Drey, tante beli. Kamu belum makan kan?" jawab Karin saat Audrey memasuki rumahnya. Ini pun menjadi hal biasa, setelah pulang kerja Audrey mampir ke rumah Kristen, meskipun seseorang yang dituju tidak berada di rumah.
Audrey menggeleng dan ikut duduk di sofa depan TV bersama dengan Karin dan Damar. "Makan dulu sana. Kamu kurus banget!" ujar Damar kali ini.
Kembali Audrey menggeleng. "Nggak ah, Om. Siapa tau hari ini Kristen pulang. Kasihan dia kalau nggak ada makanan."
Karin dan Damar tersenyum nanar mendengar penuturan Audrey itu. Lengan Damar menyenggol pelan lengan Karin dan memberinya sebuah kode.
"Ayuk, tante ambilin!" ucap Karin sambil berdiri dan menggandeng tangan Audrey, menggiringnya ke dapur.
"Ih, tante, aku nggak mau.."
"Kristen nggak mau ketemu kamu nanti kalau kamu kurus!" ucap Karin membuat Audrey memonyongkan bibirnya.
"Jangan bilang gitu dong, Tan!" balasnya dan segera mengambil piring, nasi, sayur, sekaligus lauk yang sudah terhidang di meja makan.
Karin tersenyum melihat Audrey yang segera makan itu. "Ma, aku juga mau dong!" ucap Dea dari belakang Audrey.
"Sini, kakak suapin aja!" ucap Audrey setelah mengunyah makanannya.
"Aaaaa..." Dea mendekat dan suapan itu tepat masuk ke mulutnya.
Karin semakin tersenyum melihat itu. Batinnya terus berperang melihat itu. Mempunyai menantu Audrey bukanlah hal yang buruk. Tapi, anaknya pun perempuan.
***
Julia memasuki sebuah altar dengan bunga yang digenggam di depan dadanya. Jantungnya bergemuruh tak karuan ditambah dengan beberapa tamu undangan tersenyum kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
Random"Lo punya kekuatan apa?" "Hah?" "Kenapa lo bikin gue seakan yang menahan gue di bumi ini bukan lagi gravitasi bumi, tapi, lo?" "..." --- "Dengerin gue!" "Apa lagi?! Apa lagi yang mau lo jelasin?! Hah?!" "Memang. Memang dia yang seolah menahan gue di...