[8] Masing-masing

40 12 12
                                    

"Assalamualaikum, Rama pulang!"

Al berteriak dari pintu depan sambil melepas sepatunya. Hari ini dia pulang lebih sore dari biasanya, karena tadi Al di geret Aadhira untuk mengikuti rapat dadakan, yang tujuannya agar para siswa yang berpartisipasi dalam pensi, tahu kapan dia akan tampil. Saat namanya disebut, Al sadar, Aadhira menempatkan dirinya untuk tampil di akhir-akhir acara, dimana semua orang biasanya sudah malas untuk melihat penampilan yang ada. Aadhira menjulurkan lidahnya, meledek, setelah ia selesai membacakan susunan acara, seolah berkata bahwa dia bisa mengatur segalanya. Si kampret. Awas aja.

"Waalaikumsalam. Eh, anak Bunda udah pulang!" seorang wanita menghampiri Al sambil mengeringkan tangannya dengan celemek yang dia pakai.

"Maaf ya, tangan Bunda basah, habis cuci piring," ujarnya sambil tersenyum.
Al mencium tangan Bundanya. Ngga apa-apa Bun.

"Rama mau makan apa hari ini?" Lisna, Bundanya, bertanya sambil meneliti penampilan anak sulungnya. "Kamu habis darimana sih? Baju berantakan gitu, abis ngapain?"

"Ngga ngapa-ngapain kok, Bun,"
Al menggaruk tengkuknya, mengingat pakaiannya yang berantakan seperti ini karena dia gerah, dan merasa tercekik saat memakai dasi.
"Ngga nyaman aja Bun, dasinya bikin Rama sesek napas."

"Tapi kan, emang peraturannya gitu," Lisna menjeda. "Kamu harusnya nurut sama peraturan sekolah, kan keliatannya enak kalau Rama pake seragam lengkap. Heran Bunda, kamu ngga pernah di omelin gitu, sama guru, ataupun pengurus OSIS di sekolah kamu?"

"Ngga Bun, kayaknya." Jawabnya pura-pura lupa. Dia ingat Aadhira yang seringkali mengingatkan dia untuk memakai seragam sekolah dengan benar dan lengkap. Al jadi ingin tertawa karena hal itu. Muka Aadhira yang pas marah itu, bikin ngakak. Tapi karena saat itu, dia harus jaga-jaga image, jadi Al tidak bisa melakukan hal itu. Apalagi sekarang. Nanti Bundanya mengira anaknya kurang waras kalau tiba-tiba tertawa.

"Berarti pernah," Bunda mencubit pipi Al kencang. "Makanya, kamu harus pake seragam yang bener! Awas aja, kalau kamu besok atau seterusnya masih pake seragam yang model gini, uang jajan kamu Bunda potong setengahnya!"

"Yah, Bun, kok gitu?"
Al mengusap pipinya, setelah Lisna melepas cubitannya.

"Suka-suka Bunda dong! Udah ah, Bunda mau masak! Kamu, cepetan ganti baju. Kalau belum ganti baju juga sampe Bunda selesai masak, awas aja."

"Iya Bun."

Al keluar dari kamar mandinya hanya dengan handuk yang di pakai sebatas pinggang. Dia melewati kaca yang tingginya sama dengannya, dan melihat dirinya dengan tatapan puas.

Tidak sia-sia dia menabung untuk membeli alat angkat beban, dan merayu Ayahnya untuk meminjamkan treadmill yang jarang terpakai. Tubuhnya kini lebih terlihat berisi, walaupun tidak roti sobek. Yang penting, Al tidak terlihat kurus, seperti orang kurang gizi.

"Lo ngapain ngaca-ngaca terus masang muka kayak gitu? Narsis?"
Suara seorang perempuan terdengar. Al melihat ke arah sumber suara, dan menemukan Zefanya, adik perempuannya, sedang duduk di sofa tunggal dekat kasurnya, sambil mengunyah keripik kentang dan membaca salah satu komik miliknya.

"Lo ngapain di kamar gua? Keluar sana!" Al mengibaskan tangannya, mengusir.

"Di kamar gue ngga ada sofa kayak di sini, ngga enak buat baca komik." Zefanya mengunyah keripik kentangnya.

"Salah sendiri mintanya beliin bantal yang gede kayak gitu!" Matanya menatap tajam ke arah keripik. "Lo jangan makan keripik kayak gitu di kamar gua dong! Ngotorin aja!"

"Abis lucu, bagus buat foto terus di post," jawab Zefanya tanpa dosa. "Yaudah sih, tenang aja Ram, semut ngga bakal datang ke kamar lo, apalagi kalau dia liat, yang punya kamar ini manusia semacam lo."

What You Need Are Just A Cup Of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang