[18] Rehearsal

19 8 19
                                    

Al menatap dirinya yang terpantul di cermin. Atasan biru, celana bahan berwarna putih kusam, sepatu senada, dan juga.., jubah kerajaan berwarna putih yang dipasang dengan sesuatu seperti bros emas. Rambutnya sudah dipakaikan rambut palsu berwarna putih.

“Nah, gimana? Nyaman ngga sama kostumnya?”

Al menoleh. Aadhira berdiri di sebelahnya dengan kostum penduduk desa yang hampir tidak terlihat karena memakai jubah hitam.

Aadhira tersenyum, mengusap tengkuknya dan memilin rambut palsu merah terang yang dia pakai.

“Nyaman ngga, Ram?”

Mendengar Aadhira memanggilnya dengan nama rumahnya membuat Al sedikit..., umm tersipu. Al menutupi wajahnya dengan satu tangan, kemudian mengangguk.

“Berarti tinggal pedang sama kontak lensa, ya, Ram?” Aadhira menyembunyikan kedua tangan di belakang tubuhnya, lalu mundur. Dia memperhatikan Al yang tampak cocok mengenakan kostum pangeran.

“Pake kontak lensanya kuat lama ngga?”

“Kuat kok, tenang aja.” Al menyugar rambut palsunya.
“Aadhira?”

“Ya?”

“Kenapa nggak bilang kalau kamu yang jadi Shirayuki?”

Aadhira nyengir. “Kejutan. Hehe.”

“Padahal, aku udah nyusun rencana biar kamu cemburu.”

Aadhira salah tingkah. Rencana? Ya ampun! “Tapi gagal kan?”

“Iya deh, iya. Kamu menang kali ini.”

Aadhira baru saja ingin bertanya tapi dia keburu dipanggil. Setelah memberi isyarat pada Al, Aadhira baru pergi meninggalkan Al.

“Gue denger, Aadhira mau pakai rambut aslinya buat drama.” Arsa tiba-tiba muncul entah darimana. Al terkejut, tapi sesegera mungkin menyembunyikan hal itu. Al melayangkan tatapan sinis.

Arsa adalah salah satu alasan dia sering cemburu.

“Lo tau darimana?”

Entah kenapa, Al merasa Arsa selalu menatapnya aneh dan penuh curiga. Tapi bicaranya santai, dan terkesan cuek. Dan juga, dia selalu membawa kamera. Al berdecih.

Dia ingat dia tidak pandai dalam hal fotografi. Tapi, karena Aadhira seringkali memintanya untuk memoto Aadhira setiap mereka berjalan-jalan berdua, lama-lama Al belajar dari Aadhira.

Walaupun, hasilnya tak sebagus Aadhira dan dia sering dimarahi.

“Gue kan OSIS. Yah, tapi gue nguping-nguping sih, dari panitia lain.” Arsa nyengir kaku.
“Lo tau kan, ada adegan potong rambut di prolog?”

“Gua tau.”

“Aadhira bener-bener mau ngelakuin adegan itu tanpa rambut palsu. Rambutnya juga otomatis di cat.”

“Astaga,” Al membayangkan jika itu benar-benar terjadi.
“Gua ngga bisa liat kalau itu beneran kejadian.”

“Nah, itu dia.” Arsa tampak bersiap untuk pergi.

“Banyak yang nggak setuju sama Aadhira. Terlalu beresiko. Apalagi kalau rambutnya sampai di cat, lo bisa bayangin kan? Gue juga nggak ngerti kenapa tuh anak segitu niatnya mau ngelakuin adegan itu. Jadi, intinya gue mau minta tolong sama lo.”

“Minta tolong? Tolong apaan?”

“Bujuk dia,” Arsa menepuk pundak Al.
“Gue tau lo yang paling memungkinkan buat ngebujuk ‘tuh pala batu.”

What You Need Are Just A Cup Of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang