[15] Benar Dia

27 10 18
                                    

"Rama memang suka begitu kalau dirumah," Lisna sedang mengcocok adonan kue saat Aadhira selesai mengganti bajunya dengan pakaian yang dipilihkan Lisna. Sedangkan Al tertidur di sofa dengan pakaian seragam yang masih melekat, kecuali dasi.

Setelah mengantar Aadhira sampai rumahnya sendiri, Al meletakkan tasnya begitu saja, dan menjatuhkan diri di sofa lalu tertidur. Aadhira sekarang mengerti kalau terkadang, Al sering menyebut mamanya dengan 'jenderal', 'laksamana', 'ketua' atau bahkan 'nyonya'.

Lisna sendiri tahu saat Deka, teman Al datang kerumah dan bilang bahwa dirumahnya ada laksamana yang baru pulang perang. Mendengar itu, Lisna menjitak kepala Al dengan cukup keras. Padahal, Lisna baru saja pulang dari adiknya yang baru saja melahirkan. Dan kali ini, Al itu menggunakan alasan serupa. Lisna ingin menjitak kepala anak sulungnya itu, tapi apa daya, Al langsung tertidur setelah sampai kerumah.

Lisna tersenyum melihat Aadhira memakai pakaian Zefanya yang jarang dipakai. "Badan kamu kecil ya, baju Fanya aja muat sama kamu."

"Fanya siapa Tante?"

"Namanya Zefanya," Lisna menginstruksikan agar Aadhira memotong semangkuk stoberi yang ada di depannya. Aadhira mengerti, lalu mulai memotong stroberi menjadi dua bagian, satu-satu. "Adiknya Rama."

"Aku kira Al anak tunggal," Aadhira mencuri pandang kepada Al yang sedang tertidur di sofa ruang keluarga. "Al emang dipanggil Rama ya, Tante?"

"Al juga maunya dia anak tunggal atau setidaknya punya kakak," Lisna terbayang saat Al menangis karena dia hamil adiknya. "Dia sempat nangis waktu tahu dia mau punya adik. Padahal, waktu itu dia masih empat tahun. Tante nggak ngerti kenapa dia bisa ngerti hal yang kayak begitu," Lisna membuka kulkas, mengambil krim. "Dia dipanggil Rama karena Pap-om yang minta."

"Oh, gitu..," Aadhira menyelesaikan stroberinya. "Ini tante,"

"Makasih ya," Lisna mengambil potongan stroberi itu dan kemudian menyuruh Aadhira duduk saja di sofa lain yang ada di ruang keluarga.

"Nggak tante," Aadhira menolak.
"Masa tante sibuk bikin kue aku cuma nunggu tante?"

"Nggak apa-apa, mendingan kamu bangunin Rama aja," Lisna tersenyum. "Tapi, kamu bangunin dia jangan lembut-lembut, soalnya dia susah kalau bangun kalau gitu caranya."

"O-oke, Tante."

"Eh iya," Lisna tersenyum lagi, kali ini dengan jenaka. "Jangan kaget ya, kalau dia tiba-tiba aneh."

Aadhira spontan mengernyit.


Laki-laki itu masih tertidur pulas, setelah sepuluh menit Aadhira mencoba membangunkannya dengan berbagai cara. Di suruh bangun, sudah. Menepuk lengannya, sudah. Dibisikkan di telinga, sudah. Di tampar, sudah. Di jambaki, (pelan sih) sudah. Di cubit, di tarik seragamnya,di tarik telinganya di colek pipinya dalam-dalam, di tutup hidungnya, juga sudah. Dan reaksi yang dia dapatkan hanya suara dengkuran halus Al yang membuatnya kesal.

"Al. Bangun. Ngga!" Aadhira menyerukannya dengan gemas.

Al hanya bergeming, tetapi tangannya bergerak. Mencari sesuatu. Sampai, tangannya menggapai jaket biru tua yang Aadhira kenakan, kemudian menariknya.

What You Need Are Just A Cup Of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang