[16] Konflik Hati

33 9 19
                                    


Aadhira baru saja mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering.

“Aku cuma mau nelepon kamu aja, kok.” Jawab Al saat Aadhira bertanya kenapa menelepon.

“Ngapain? Kan tadi juga baruuu aja ketemu.” Aadhira mengatakan ‘baru’ dengan agak panjang.

“Emangnya, ada ya peraturan kalau baru ketemu ngga boleh nelepon?”

“Bukan peraturan juga sih, tapi ya..,” Aadhira menarik kursi belajarnya. “Gimana ya, ngomongnya?” Aadhira duduk.

Dia tidak merasa harus menyertakan alasan kenapa Al sebaiknya jangan meneleponnya saat mereka baru saja bertemu. Salah satunya, adalah alasan yang paling konyol yang tidak akan pernah Aadhira katakan.

“Ya udah sih, ngga usah cari-cari alasan. Kuota-kuota aku juga, kenapa kamu yang riweuh?”

“Besok sekolah.”

“Terus? Biasanya juga jam segini aku belum tidur, kok. Masih jam setengah sembilan.”

“Aku ada PR.”

“Biasanya kamu kerjain PR di sekolah kan? Kamu sering cerita.”

“E..,eh. EH! PR aku sekarang banyak!”

“Habis ujian, guru mana sih yang mau kasih PR banyak-banyak?”

“Guru yang ngajar di kel—”

“Aadhira? Lo ada novel yang rame ngga gue mau pinjem.” Terdengar decitan pintu kamar Aadhira yang menandakan pintu itu dibuka seseorang. Nadia melongok sampai sebatas dada. “Ada nggak?”

Aadhira menurunkan ponselnya. Menutup bagian yang sekiranya bisa mengurangi suara yang terdengar di seberang sana. Lalu menunjuk ke rak buku yang terletak di sebelah kirinya. “Ada tuh kak, pilih aja.”

“Aduh, gue ganggu lo lagi nelepon ya? Sori..,”

“Sans, kak. Bukan telepon genting kok.”

“Bukan lah. Lo kan lagi di kamar ngga di genting,” Nadia melawak garing. Lalu dia masuk ke kamar Aadhira.

Dia berdiri di sebelah Aadhira, di depan rak buku. Matanya menelusuri judul-judul buku yang ada. Dalam bingungnya memilih buku, Nadia tersenyum. Aadhira terbiasa menata bukunya sesuai penerbit. Jika yang lain memilih menatanya sesuai genre, Aadhira menatanya sesuai dengan penerbit dimana buku itu diterbitkan. Alasannya, buku yang satu penerbit itu ukurannya sama. Jadi, akan terlihat lebih rapi ketimbang ditata sesuai genre.

“Rekomendasi buku yang rame dong, Dhir. Gue bingung nih.”

Aadhira mengurungkan diri untuk berbicara di telepon. Dia berdiri, menelusuri deretan buku-buku yang tertata dalam rak dengan lima tingkat itu. Di tingkat ketiga, dia berhenti. Telunjuknya menarik satu buku dengan halaman sedang, memastikan judulnya, menatap sampul yang terbungkus plastik, dan mengecek dalamnya. “Ini bagus, kak. Kalau lo belum baca itu juga.”

“Oh, ini belum pernah gue baca.” Nadia menerima novel itu. “Gue baca disini, boleh kan?”

“Boleh,” Aadhira duduk di kursinya kembali. “Duduk di sofa sebelah sana aja kak,”

“Sipp.”

Aadhira mendekatkan ponselnya ke telinga. Al masih ada di seberang sana.
“Ih, nyalahin. Kan udah aku bilangin dimatiin dulu.”

“Mau nguping.”

“Emang kedengeran?”

“Iya.” Al tersenyum di seberang sana. Aadhira tidak tahu. “Agak sih, sebenernya. Kamu tutupin ya?”

What You Need Are Just A Cup Of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang